I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Mengambil momentum Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, seringkali tercetus pernyataan bernada optimis bahwa Hindu akan mengalami masa kebangkitan. Pernyataan ini tidak saja datang dari kalangan romantisme historis, atau oleh sebab pengaruh etnosentrisme bertendensi chauvinis, termasuk dari kelompok tertentu yang akrab dengan dunia magis berbaur mistis, yang di Bali lazim diberi label sebagai “pangiring sasuhunan”, atau “pangiring pakayunan” — pengikut keinginan yang acapkali tak kesampaian.

Tak dapat dipungkiri, pada era peradaban modern sekarang, sebagian masyarakat masih dirasuki sindrome romantik historis — romantika kesejarahan. Sehingga mengaburkan antara fakta kesejarahan yang telah dilampaui eranya dengan obsesi kembalinya masa lalu yang sebenarnya telah menjadi jejak sejarah. Romantisme sejarah telah memesona sekaligus menghipnotis pemikiran rasional, seolah realita sejarah masa lalu bisa berpindah ke masa kini.

Sejarah adalah masa lalu — history, saat ini adalah reality, bukan mimpi. Romantisme historis kerap juga menggerogoti hati yang semula jernih menjadi berbuih-buih berharap lebih agar terulang kembali sejarah masa lampau, meski dibalut kisah pedih nan sedih.

Baca juga:  Efektivitas Pembukaan Pariwisata Bali

Sebagian lagi terpengaruh etnosentrisme yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), berarti sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan
sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat
dan kebudayaan lain. Unsur kebudayaan menjadi suatu hal yang seringkali diunggulkan oleh seseorang atau kelompok dengan menonjolkan sikap etnosentrisme.

Beberapa unsur kebudayaan tersebut antara lain seperti bahasa, perilaku, kebiasaan, hingga keyakinan atau agama. Secara spesifik, etnosentrisme lebih merujuk pada chauvinistik yaitu
rasa bangga seorang individu ataupun kelompok secara berlebihan. Etnosentrisme
merupakan suatu hal yang mengacu pada kepercayaan kelompok masyarakat, bahwa kebudayaannya selalu superior daripada kebudayaan yang lain (Taylor, Peplau dan
Sears). Etnosentrisme adalah kecenderungan seseorang yang menganggap kelompoknya lebih baik dibandingkan kelompok lain hingga mendorong tindakan tidak rasional (Harris).

Diantaranya dilakoni pengikut dunia magis berbaur mistis, yang dalam kesempatan melakukan aktivitas ritual di tempat-tempat suci tertentu (Pura/Candi) tak jarang disertai, tepatnya diwarnai kejadian “trance” (kerauhan). Terlepas apakah benar “trance” (kalinggihang) atau mungkin terkondisi skizofrenia, salah satu cetusan ungkapan dalam keadaan tidak sadar itu adalah “kerajaan Hindu Majapahit akan bangkit kembali”.

Baca juga:  Merger Sulit Diberlakukan untuk Perguruan Tinggi Hindu 

Hal ini dikaitkan dengan ramalan Sabdo Palon dan Naya Genggong, dua pandita, sekaligus penasihat utama Prabu Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit yang punya kesaktian mandraguna. Namanya disebut dalam Serat Darmagandhul yang ditulis Ki Kalamwadi.

Dalam karangan itu Sabdo Palon disebutkan tidak bisa menerima kekalahan Prabu Brawijaya, termasuk keruntuhan Kerajaan Hindu Majapahit. Dia kemudian bersumpah akan kembali sekitar 500 tahun dan hendak mengembalikan kejayaan Majapahit.

Kini setelah melewati masa 500 tahun bahkan melampaui hitungan waktu penantian terwujudnya ramalan Sabdo Palon dan Naya Genggong, adakah pertanda Hindu Majapahit
(Nusantara) telah atau baru “akan” bangkit? Realitas historis hari ini, sama sekali belum/
tidak menunjukkan sinyal ke arah itu.

Bukan soal optimis atau pesimis, tetapi berpikir secara realistis, kenyataan historis menunjukkan, perkembangan Hindu, lebih tepat umat Hindu justru menunjukkan fenomena
dan dinamika mengarah krisis. Banyak indikator, tetapi cukup diambil dua saja, yaitu : 1) Polaritas pembinaan dan pengayoman berdasar kearifan lokal berbasis desa kala patra-desa mawa cara, hingga melahirkan pemilahan, pemisahan atau pengotakan identitas kehinduan (dresta Bali vs nondresta Bali: Nusantara dan orientalis India), dan 2) Rivalitas kelembagaan, sejak terbelahnya kepengurusan PHDI Bali (Campuhan vs Besakih) hingga kini memuncak pada PHDI Pusat, yang masih “diganggu-gugat”, apakah lembaga kemajelisannya atau personal kepengurusannya.

Baca juga:  Perilaku Etis Konsumen Nakal

Pertanyaannya, kapan sempat mengurus umat yang semakin “kurus” akibat makin “dikuras” daya magnet agama sebelah. Lebih realistis lagi, jangankan untuk bangkit sebagaimana pada masa keemasan/kejayaan kerajaan Hindu Majapahit, yang terjadi justru kondisi, posisi dan eksistensi umat Hindu kian mejepit akibat terus dihimpit baik secara geografis, demografis maupun politis. Obsesi Hindu akan bangkit tampaknya masih berada dalam nada “utopian”.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *