John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Belum lama ini dunia dikagetkan dengan peristiwa kekerasan pada acara perhelatan dunia penyerahan piala Oscar. Ketika itu, Will Smith menaiki panggung dan menggampar Chris Rock yang sedang memandu acara.

Meski setelah itu, Smith meminta maaf sambil berlinangan air mata dan berkilah hanya ingin membela kehormatan keluarganya, masyarakat dunia seolah tak bisa memaafkan perbuatannya. Panitia Oscar melarang Will Smith menghadiri acara penganugerahan Oscar selama 10 tahun berturut-turut.

Sementara di panggung politik nasional, kita menyaksikan kekerasan yang jauh lebih mengejutkan. Ade Armando (AA) seorang dosen komunikasi Universitas Indonesia (UI) sekaligus pegiat media sosial dikeroyok, digebuki, dan nyaris ditelanjangi oleh massa.

Hemat penulis, kekerasan yang dialami AA, adalah jenis kekerasan yang pertama dalam sejarah bangsa ini. Belum pernah kita menyaksikan seorang guru apalagi dosen dianiaya dan dipermalukan semacam itu.

AA hadir untuk mendukung aspirasi mahasiswa menolak wacana jabatan presiden tiga periode dan penundaan Pemilu. Sangat ironis. Bagaimana kita menyikapi peristiwa ini?

Baca juga:  Digitalisasi Penyiaran dan Nasib Televisi Analog

Tragedi ini berkebalikan dengan sikap masyarakat Jepang teradap guru alias ‘suhu’ mereka. Ketika kalah dalam Perang Dunia II, Kaisar Hirohito tidak bertanya, berapa tentara yang masih hidup, melainkan berapa guru yang masih hidup.

Itu artinya, dalam kesadaran kolektif bangsa itu, hanya sosok guru yang mampu membangkitkan negara dari keterpurukannya. Benar saja, dengan semangat belajar warga yang tinggi dan dibantu oleh para guru patriotik, Jepang bangkit lagi dan menjadi negara maju.

Sementara di negeri kita, seorang dosen alias guru dikeroyok, digebuki hingga babak belur dan ditelanjangi dalam sebuah peristiwa unjuk rasa mahasiswa. Meskipun kekerasan itu bukan dilakukan oleh mahasiswa, masyarakat akan selalu mengenang, kekejian terhadap dosen pernah terjadi dalam peristiwa unjuk rasa mahasiswa.

Intelektual Publik

AA lahir di Jakarta pada 24 September 1961 dari pasangan etnis Minangkabau. Ayahnya Jus Gani adalah seorang atase yang bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan pernah ditempatkan di Maroko dan Filipina.

Setelah runtuhnya rezim Soekarno, sang ayah berhenti bekerja di kedutaan dan memboyong keluarganya ke Malaysia untuk berdagang. Keluarga itu kembali ke Indonesia pada 1968 dan menetap di Bandung.

Baca juga:  Kendaraan Listrik Solusi Krisis Energi

AA kuliah di FISIP Universitas Indonesia (UI) untuk menjadi diplomat, tapi kemudian pindah ke jurusan komunikasi. Selama kuliah ia aktif di pers mahasiswa dan belajar jurnalistik dari Rosihan Anwar.

Ia menyelesaikan kuliah sarjananya pada 1988, meraih gelar master of science dari State University of
Florida AS, dan mendapatkan gelar doktor dari UI. Dalam bidang karier, AA pernah menjadi redaktur surat kabar Republika; menjadi peneliti dan manajer riset Media Tylor Nelson Sofres; menjadi direktur Media Watch & Consumer Center dan menjadi anggota redaksi jurnal Prisma.

Sejak 1990, ia menjadi dosen tetap dan berstatus PNS
pada FISIP UI. Dari riwayat pendidikan dan karirnya, kita melihat, AA bukan orang sembarangan.

Kelompok pendukung mungkin menyebutnya sebagai pejuang melawan radikalisme, kelompok penentang menjulukinya “buzzer” penguasa atau penista agama, kelompok netral menganggapnya sebagai tokoh kontroversial, namun sebagai sesama pendidik, penulis memandangnya sebagai ‘intelektual publik’.

Baca juga:  Pariwisata Ramah Bencana

Semangat ini sejalan dengan pikiran Noam Chomsky tentang tanggung jawab seorang intelektual. Menurut profesor Massachussets Institute of Technology (MIT) itu, karena ketajaman analisis, kaum intelektual sejati akan dengan sendirinya terpanggil untuk selalu mencari kebenaran, menguji berbagai motif di balik kerudung ideologi, manipulasi, ritual keagamaan dan berbagai kepentingan kelas.

Pada 2000 Majalah Time menobatkan Albert Einstein sebagai A Person of Century, bukan sekadar A man of the year. Penobatan itu dilakukan karena panitia melihat betapa besar dampak baik atau buruk yang disumbangkan Einstein kepada peradaban umat manusia di abad XX, meskipun Einstein sendiri menciptakan banyak kontroversi.

Terlepas dari kontroversi yang disematkan kepada AA, penulis melihat ada hal-hal baik yang membuatnya pantas dijuluki pejuang akal sehat di negeri ini. Tema besar yang selalu diusungnya adalah bahaya radikalisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *