I Wayan Jondra. (BP/Dokumen)

Oleh : I Wayan Jondra

Potensi tenaga surya sangat melimpah di negara tropis ini, sepanjang tahun ada matahari menjadi harapan besar bagi pemanfaatan energi matahari yang tiada habisnya dan ramah lingkungan sehingga selaras dengan visi pemerintah Provinsi Bali; “Nangun Sat Kerthi Loka Bali’. Namun masih ditemui kendala teknis, bisnis dan regulasi, untuk mewujudkan 20% PLTS di Bali sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.

Indonesia memiliki potensi Pembangkit Listrik tenaga surya mencapai 3.294 Giga Watt. Potensi ini merupakan potensi yang luar biasa besar dan mengalahkan negara-negara di belahan dunia lainnya.

Namun PLTS mengalami kendala teknis seperti cuaca, keterbatasan teknologi inverter, dan sistem proteksi agar dapat terintegrasi dengan listrik PLN. Kendala lainnya juga adalah soal perizinan.

PLTS Rooftop jika tidak memiliki ijin Usaha Penyedia Tenaga Listrik, terlebih-lebih menjualnya melalui system PLN, tentu hal ini adalah bentuk pelanggaran atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 14 Tahun 2012 Tentang : Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Peraturan perundang-undangan yang berada di bawah Peraturan Pemerintah Nomor : 14 Tahun 2012 ini hendaknya tunduk, sehingga PLTS Rooftop tanpa ijin IPP ini jangankan mensuply 15% dari kapasitas, terinterkoneksi dengan system PLN saja tidak boleh, apalagi tujuannya untuk menjual kepada khalayak umum.

Jikapun Ijin PLTS rooftop terpenuhi, masih banyak masalah diantaranya yang menjadi tantangan bagi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) adalah tidak menentunya cuaca seperti saat ini yang nyaris tidak mengenal musim hujan atau kemarau. Mendung dan hujan dapat terjadi setap saat, sehingga membuat proses pembangkitan energi PLTS menjadi tidak setabil dan mengalami fluktuasi yang cukup tinggi.

Baca juga:  Kampanye Sehat dan Memikat

Kemajuan teknologi baterai saat ini menjadi tumpuan bagi ketidak stabilan ketersediaan sinar matahari. Baterai dapat menyimpan energi listrik pada saat sinar matahari terang dan membuang energi listrik pada saat ada beban listrik namun tidak ada sinar matahari. Dengan bantuan baterai maka fluktuasi ketersediaan sinar matahari dapat teratasi, sehingga pengguna tidak perlu berlangganan listrik PLN. Permasalahan akan timbul tatkala PLTS tanpa menggunakan baterai, energi listrik akan hilang saat terjadi hujan atau mendung, sehingga penyediaan tidak stabil.

Jika PLTS tanpa baterai dengan fluktuasi pembangkitan yang tinggi ini terhubung dengan system PLN, maka akan menimbulkan intermiten yang tinggi, yang dapat mengganggu keandalan/kontinyuitas penyaluran energi listrik oleh PLN kepada konsumen lainnya. Sementara disisi lain perusahan listrik negara (PLN) terikat oleh standar layanan minimum kepada konsumen lainnya.

Sesuai dengan peraturan Menteri ESDM no. 27 Tahun 2017 jika PLN tidak mampu memenuhi TMP, maka PLN wajib membayar Kompensasi TMP kepada konsumen di Area tertentu yang tidak mendapatkan pelayanan energi listrik sesuai TMP. Jika PLTS on-grid ( tanpa baterai) tiba-tiba mati dan tidak mampu menyuplali kebutuhan listrik konsumen dan menjadi penyebab tidak tercapainya TMP ini apa tanggung jawab pemilik PLTS On-Grid? Hingga saat ini belum ada aturannya.

Baca juga:  Kampus Merdeka Tantangan Bagi Dosen

Karena Tingkat Mutu Layanan minimal tersebut adalah hak seluruh konsumen PLN, baik yang memiliki PLTS Atap On-Grid maupun tidak, maka perlu dibuat pengaturan yang lebih detail terhadap hak dan kewajiban konsumen listrik PLN yang memiliki PLTS On-Grid. Konsumen pemilik PLTS On Grid menjalani fungsi ganda antara lain : pada siang hari (matahari terang benderang) dia sebagai produsen penyedia listrik untuk PLN, sedangkan pada malam hari/tidak ada sinar matahari dia sebagai konsumen PLN. Demi tercapainya Tingkat Mutu Layanan PLN, Sehingga perlu dilakukan pengaturan lebih detail tentang PLTS On-Grid.

Belum lagi jika ditinjau dari ketidak handalan PLN dilihat dari rumitnya seting system proteksi, akibat adanya banyak distributed generator berupa PLTS On-Grid, yang mungkin dapat bertambah terus. Setiap pertambahan PLTS On-Grid akan merubah system aliran daya yang dimiliki oleh system PLN, sehingga setiap perubahan aliran daya harus diikuti oleh perubahan seting proteksi system baik di jaringan milik PLN maupun dalam system yang dimiliki oleh PLTS On-Grid. Sebenarnya tidak mudah dengan menjamurnya distributed generator dalam system jaringan PLN. Sehingga perlu rasionalisasi koneksi PLTS ke dalam system PLN.

Baca juga:  Pembangunan Bali dan Era Revolusi Industri 4.0

Banyaknya PLTS yang terhubung ke dalam Jaringan Distribusi PLN akan memperumit system proteksi, jika system proteksi tidak sensitive, selektif, dan bekerja cepat, maka jika terjadi kecelakaan misalnya manusia kesetrum maka korban akan lambat lepas dari jaringan PLN sampai semua distributed generator (PLTS Atap) dan penyulang putus. Tentu ini sangat mengerikan jika terjadi.

PLN selama ini nampaknya menyambung PLTS On-Grid ke dalam sistemnya hanya berdasarkan sertifikat laik operasi (SLO), tanpa didahului dengan komisioning test. Tindakan tersebut tentu kurang tepat, karena masih mungkin PLTS tersebut memiliki kehandalan yang rendah.

Dengan berbagai permasalahan tersebut maka perlu dilakukan rasionalisasi terhadap besar PLTS On-Grid yang dapat disambungkan ke dalam Instalasi Jaringan Tegangan Menengah (JTM) atau Jaringan Tegangan Rendah (JTR) atau Jaringan Tegangan Tinggi (JTT). Rasionalisasi ini harus ditunjang oleh kesiapan infrastruktur PLN, kualitas energi yang diberikan oleh PLTS ON-Grid sesuai dengan tingkat mutu pelayanan (TMP) PLN, sehingga tidak merugikan konsumen dan membahayakan nyawa manusia itu sendiri. Dengan demikian perlu kerja sama yang lebih erat antara Industri, Perguruan Tinggi dan PLN untuk terus mengembagkan teknologi PLTS yang semakin unggul dan handal.

Dosen Teknik Elektro Politeknik Negeri Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *