Oleh Dewa Gde Satrya
Dua kecelakaan pada wisatawan terjadi di Jawa Timur. Pertama, perosotan di Kenjeran Waterpark yang ambrol dan melukai sejumlah anak yang sedang bergembira bermain di wahana tersebut pada Sabtu (7/5). Kedua, kecelakaan maut rombongan wisatawan asal Benowo yang disebabkan kelalaian sopir bus di Tol Mojokerto-Surabaya pada Senin (16/5) pagi.
Dua peristiwa mengenaskan ini terjadi ketika industri pariwisata mulai bergeliat setelah pandemi. Kecelakaan wisatawan karena ketidakamanan fasilitas yang disediakan pengelola destinasi wisata dan kegagalan penyedia jasa transportasi dalam memberikan layanan yang aman serta nyaman, merupakan cermin lemahnya implementasi CHSE (cleanliness, health, safety, environmental sustainability) yang selama ini diupayakan terus menerus oleh Kemenparekraf dan sejumlah instansi terkait.
Meningkatnya permintaan pasar dalam negeri untuk berwisata telah diprediksi setelah pemerintah melonggarkan peraturan perjalanan dan libur cuti nasional Lebaran. Namun, pertumbuhan pasar wisatawan Nusantara tidak diimbangi dengan keseriusan penyedia jasa di setiap mata rantai industri pariwisata untuk mempertahankan kepercayaan pasar. CHSE sebatas jargon dan tempelan stiker yang seakan memikat di awal, tetapi tidak menjadi spirit layanan. Penyedia jasa layanan transportasi seakan kembali ke kebiasaan lama sebelum pandemi, tidak ada standar yang serius dalam menerapkan CHSE, efisiensi dan kejar setoran, yang ujung-ujungnya untuk meningkatkan laba guna mengejar pertumbuhan finansial perusahaan. Keamanan dan kenyamanan konsumen terabaikan, tanggung jawab moral untuk memberikan layanan yang prima dan memberi kesan positif yang mendalam sebagai rasa syukur atas bertumbuhnya permintaan pasar, tergantikan dengan prinsip business as usual.
World Economic Forum Report Travel and Tourism Competitiveness Index (2019) menempatkan Indonesia di peringkat ke-40 di bawah Malaysia (peringkat 29) dan Thailand (peringkat 31) pada indeks daya saing industri perjalanan dan pariwisata. Empat komponen dalam penilaian di antaranya terkait environment sustainability, safety and security, dan tourist service infrastructure. Elemen penilaian tersebut merupakan potret kinerja industri pariwisata dan perjalanan di 140 negara di dunia, yang dinilai untuk menjadi refleksi atas kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
Kecelakaan maut bus pariwisata sering terjadi. Akar permasalahannya sama, yakni performa bus dan kelalaian pengendara. Padahal, bagi wisatawan korban kecelakaan bus, melakukan perjalanan wisata bersama komunitas sangat menyenangkan. Memahami bahwa pariwisata dan sektor transportasi bertumbuh bersama-sama dan tidak dapat dipisahkan (Cooper, 2016), maka perlu koordinasi yang intens di tataran stakeholder yang terkait pariwisata dan transportasi, baik industri maupun pemerintahan. BPPI dan GIPI dapat memayungi koordinasi lintas sektoral, antara pariwisata dan perhubungan.
BPPI tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota terdiri dari unsur penentu kebijakan yang berjumlah 9 orang (4 orang wakil asosiasi kepariwisataan, 2 orang wakil asosiasi profesi, 1 orang wakil asosiasi penerbangan, dan 2 orang pakar atau akademisi). GIPI terdiri atas pengusaha pariwisata, asosiasi usaha pariwisata, asosiasi profesi, dan asosiasi lain yang terkait langsung dengan pariwisata. Dilihat dari tugasnya, beberapa tugas penting BPPI di antaranya, meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia, meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa, meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan.
Sementara, beberapa kegiatan GIPI yang merupakan forum komunikasi dan konsultasi antar stakeholder kepariwisataan antara lain, menyalurkan aspirasi serta memelihara kerukunan dan kepentingan anggota dalam rangka keikutsertaannya dalam pembangunan bidang kepariwisataan, meningkatkan hubungan dan kerja sama antara pengusaha pariwisata Indonesia dan pengusaha pariwisata luar negeri, mencegah persaingan usaha yang tidak sehat di bidang pariwisata. BPPI dan GIPI memungkinkan koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi antar stakeholder pelaku pariwisata dan transportasi guna mencapai kemajuan bersama, mulai skala kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.
Penekanan pentingnya kerja sama antarpelaku pariwisata dalam tim BPPI dan GIPI pertama-tama untuk meminimalisir, bahkan zero tolarance, kecelakaan dan kerugian lain yang menimpa wisatawan. Selain itu, karena merekalah yang paling paham pasar wisata dalam dan luar negeri, juga untuk semakin memperkuat fondasi dan networking bisnis pariwisata di dalam negeri, menerapkan standar pariwisata internasional untuk pasar dalam negeri. Bila hal itu terjadi secara serius dan berkelanjutan, niscaya tidak ada lagi petaka yang melanda traveler, karena implementasi CHSE dimonitor hingga ke operasional paling bawah.
Penulis Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya