Ribut Lupiyanto. (BP/Istimewa)

Oleh Ribut Lupiyanto

Dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup pada setiap 5 Juni sejak ditetapkan pada tahun 1974. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia untuk mendorong kesadaran dan tindakan orang-orang di seluruh dunia untuk melindungi lingkungan.

Perayaan biasanya melibatkan pemerintah, bisnis, selebriti, dan warga negara untuk memfokuskan upaya mereka dalam mengatasi masalah lingkungan yang terjadi. Tema peringatan tahun ini adalah “Only One Earth”.

Kuasa Tuhan dalam mendinamisasi lingkungan baru terasa dan disadari manusia ketika terjadi bencana.
Kejadian bencana ini selalu memberikan efek traumatik bagi sebagian besar masyarakat.

Semua ini membutuhkan pemahaman melalui literasi. Tantangan besar dalam literasi adalah masih minimnya pengetahuan dan informasi seputar dinamika lingkungan.

Literasi ini menjadi kunci suksesnya restorasi ekosistem bumi. Hari Lingkungan Hidup Sedunia ditetapkan pada persidangan umum perserikatan bangsa-bangsa atau PBB pada 1972 pada hari pertama Konferensi Stockholm tentang lingkungan
manusia, hasil dari diskusi tentang integrasi interaksi manusia dan lingkungan.

Baca juga:  Diplomasi Kebudayaan Indonesia Melalui Bali

Tema perayaan hari lingkungan hidup sedunia pertama kali di tahun 1974 yakni ‘Hanya Satu Bumi’.
Sejak saat itu hari lingkungan hidup sedunia terus diperingati setiap tahunnya.

PBB dengan dukungan negara, mitra dan masyarakat kini ingin fokus mencegah dan mengatasi hilangnya
ekosistem alam akibat dampak dari perubahan iklim. Alasan Pakistan dipilih sebagai tuan rumah untuk perayaan hari lingkungan hidup sedunia 2021 karena pemerintah Pakistan memulai penghijauan besar-besaran yang disebut ‘Billion Tree Tsunami’ pada 2014.

Adapun upaya yang dilakukan dalam penghijauan besar-besaran ini yaitu pemulihan bakau, penanaman pohon di lingkungan perkotaan dan meningkatkan tutupan hutan. Pakistan juga ditetapkan pada posisi kelima dalam daftar negara yang paling terpengaruh terhadap perubahan iklim antara 1999 hingga 2018 sesuai laporan tahunan Indeks Risiko Iklim Global 2020.

Sepanjang sejarah, manusia membuktikan selalu mampu adaptif dan survive terhadap lingkungan pijakannya (Mitchell, 2003). Melalui proses pembacaan yang sederhana mereka terus belajar mengendalikan lingkungan guna mewujudkan keseimbangan.

Baca juga:  Teknologi, Jembatan Harapan di Tengah Pandemi

Hasilnya, tidak kalah dengan hasil eksperimen akademisi dewasa ini. Inilah bukti eksistensi kearifan lokal. Ketika penelitian bermunculan, keilmuan berkembang, teknologi semakin canggih, pembangunan gencar, dan materialisme merasuki
peradaban, justru yang terjadi adalah guncangan ketidakharmonisan alam.

Keseimbangan kiranya akan muncul, jika pengetahuan lokal membuka diri atas masuknya karya intelektual. Sebaliknya pengetahuan kontemporer juga perlu mempertimbangkan kearifan lokal.

Penduduk daerah rawan bencana mesti sadar untuk proaktif mencari solusi terbaik dengan mempertimbangkan rekomendasi ilmiah. Di sisi lain, solusi intelektual juga perlu melihat rasionalitas masyarakat tetap memilih sebagai ”ilmuwan” lokal.

Literasi Ekologi

Keilmuan modern dengan energi dan akomodasi yang dimiliki akan mudah memahami pengetahuan lokal. Sedangkan bagi masyarakat umum, memahami ilmu modern masih menjadi masalah, karena akses terhadap informasi ekologi terbatas.

Komponen-komponen yang telah berpegang pada pemahaman ilmu ekologi perlu digerakkan melakukan transformasi. Media pendidikan perlu dioptimalkan semua pihak, baik formal maupun informal.

Baca juga:  Inspirasi Kebersihan dari Jepang

Pertama, sektor pendidikan formal penting memasukkan pendidikan ekologi dalam kurikulumnya, tentunya dengan ketersediaan pengajar profesional
dan alat bantu yang representatif. Pendidik haruslah menempati sesuai keahliannya.

Kedua, pendidikan ilmu ekologi tentu harus bisa menyentuh mayoritas masyarakat melalui jalur informal. Permasalahan serius pendidikan bangsa ini masih kompleks antara kualitas dan aksesibilitas.

Ketiga, upaya mendidik penting menyentuh aspek konsepsional. Hal ini diperlukan sebagai upaya membuka informasi yang dimiliki. Pendidikan yang efektif tentunya tidak semata memposisikan masyarakat sebagai objek, tapi subjek yang juga mempunyai pengetahuan lokal.

Dengan demikian masyarakat yang notabene adalah penghuni bumi mampu menjadi tuan rumah di bumi sendiri. Tuan rumah yang tidak sekadar tahu tapi mampu berperan mengelolanya.

Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *