Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Ada metafora menarik bahwa apabila katak dimasukkan ke dalam panci berisi air mendidih, tentu akan langsung melompat keluar. Namun, jika ditempatkan di panci dengan suhu air nyaman dan kemudian dipanaskan perlahan hingga mendidih, katak tidak menyadari bahwa ada bahaya yang mengancamnya.

Spiros Margaris menuliskan analogi “eksperiman katak” ini dalam “Why Banks Should Care about FinTech” dalam buku Bank 4.0: Banking Everywhere,
Never at a Bank (2019). Digambarkan bahwa sikap untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang sedang berubah merupakan upaya untuk terus bertahan hidup.

Perubahan dalam kegiatan kehidupan memang adalah sebuah keniscayaan. Secara filosofi disebut tidak ada yang abadi di muka bumi ini kecuali ketidakabadian itu sendiri. Justru kalau kita berubah,
maka hal itulah yang akan menyelamatkan kita dalam mengarungi perubahan situasi yang sedang terjadi dalam kehidupan kita.

Baca juga:  Menanggulangi Bencana Banjir di Bali

Menurut Koentjaraningrat (1974) kebudayaan sebagai kegiatan kehidupan, merupakan keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia. Hal ini hanya bisa dicetuskan dengan proses
belajar yang berlangsung terus menerus.

Pandemi Covid-19 telah mengoyak segala sendi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya semua warga di muka bumi ini. Semua tolok ukur dan kriteria yang
selama ini digunakan dalam kehidupan keseharian kita, seakan menjadi tidak berlaku lagi.

Semua ukuran dalam kehidupan kita menjadi berubah. Kita dihadapkan pada situasi dan kondisi yang serba anomali, sehingga juga memerlukan pola pikir yang sepenuhnya berbeda untuk menjalani kehidupan kita.

Paradigma baru harus kita gunakan agar situasi serba tidak terduga ini dapat kita lalui. Aneka bentuk penyesuaian harus kita ciptakan agar kondisi anomali ini dapat kita lalui.

Baca juga:  UU Provinsi Bali Disahkan, Wagub Cok Ace Berharap Pemerintah Pusat Akui Potensi Budaya Bali

Bali pun tidak bisa menghindar dari  situasi anomali ini. Seluruh sendi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya menjadi berubah.

Zona nyaman pariwisata yang selama ini dinikmati masyarakat di seluruh pelosok Pulau Bali, seakan lenyap begitu saja dari keseharian aktivitas di Pulau Bali. Saat anomali itu terjadi, kawasan wisata bak kota mati; hilang tinggal menyisakan hotel yang kosong, sepi dan gelap.

Kehidupan lenyap dari kawasan objek pariwisata Bali. Ribuan pelaku pariwisata seakan harus menyingkir kembali ke kampung halaman masing-masing.

Pada kelanjutannya terjadi degradasi kebudayaan Bali.
Evolusi kebudayaan merupakan keniscayaan dalam melestarikan anatomi tradisi adat sosial-budaya dalam tatanan dan mindset baru sesuai konteks masa
kini.

Baca juga:  Miskonsepsi Filosofis Pendidikan

Langkah ini harus dilakukan guna menghindari keterputusan peradaban. Tatanan adat sosial-budaya masyarakat Bali tanpa kita sadari telah berubah.

Merajut kembali berbagai stakeholder adat dan budaya menjadi langkah yang harus dilakukan secara simultan. Barangkali ada baiknya kita belajar dari komodo.

Binatang endemik Pulau Komodo yang juga menjadi identitas Indonesia ini, terbukti telah berhasil melewati perubahan ribuan tahun yang terjadi pada alam lingkungannya. Evolusi kebudayaan harus kita lakukan guna mengatasi situasi anomali yang serba sulit, agar kita tetap dapat survive bertahan hidup dalam kondisi alam lingkungan budaya yang berganti. Hanya ada
satu kata, berubah; atau mati.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *