Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh I Dewa Gde Satrya

Sepanjang bulan Juni didedikasikan sebagai bulan Bung Karno. Sejumlah peristiwa bersejarah mendasari penetapan Bulan Bung Karno. Yakni, Hari Lahir Pancasila (1 Juni), hari kelahiran Bung Karno (6 Juni) dan hari wafat Bung Karno (21 Juni).

Sebagai pendiri bangsa, jejak Bung Karno terekam dalam sejarah peradaban daerah, kota maupun pulau di negeri ini. Di Jawa Timur, misalnya, jejak hidup Bung Karno banyak berada di Surabaya, Mojokerto dan tempat peristirahatan terakhirnya di Blitar.

Sejak 2010 kota Surabaya diakui sebagai kota kelahiran Bung Karno. Sebelumnya, tempat kelahiran Bung Karno ada berbagai versi. Wali Kota Surabaya, waktu itu Bambang DH, mengirimkan surat ke Sekretariat Negara perihal pelurusan sejarah tempat lahirnya Bung Karno yang sebenarnya di Surabaya, bukan di Blitar.

Rumah lelahiran Bung Karno berada di perkampungan Jalan Pandean IV/40 Surabaya. Surabaya, bersama daerah lain di Tanah Air, telah mendidik, merawat dan menghidupi semangat rela berkorban habis-habisan, berdarah-darah, dan heroik bagi banyak jiwa anak bangsa terutama pada masa-masa kolonialisme hingga tahun 1940-an. Di zaman ini titik-titik bersejarah dan nama-nama besar yang dilahirkan dan berkarya di zaman pra dan awal-awal kemerdekaan selalu berada di bawah permukaan, jauh dari hiruk pikuk kesibukan pembangunan kota, bahkan tidak dikenal.

Baca juga:  Wanita dan Kepemimpinan Egaliter

Jejak ’rumah kos pergerakan’ HOS Tjokroaminoto di perkampungan Peneleh juga menjadi salah satu fase kehidupan sang proklamator. Sebagai salah satu representasi jejak kehidupan Bung Karno, attractiveness sekaligus keunikan titik-titik bersejarah di Surabaya perlu diperkuat, ditonjolkan, dipromosikan dan dikemas sedemikian rupa agar menarik perhatian dan minat warga.

Bill Baker (2007: 92) menyatakan, variabel yang dapat digunakan dalam penentuan positioning suatu destinasi adalah kombinasi atau sinergi atas beberapa variabel yang dapat menjadi pembeda serta keunggulan bersaing destinasi wisata dengan destinasi lain, di antaranya, arsitektur dan design, atraksi wisata, iklim, sejarah dan kebudayaan, even, industri dan produk lokal, landmarks dan ikon, legenda dan mitos, lokasi dan akses, lingkungan dan masyarakat.

Danesi (2004) mendefinisikan ikon sebagai tanda di mana penanda memiliki koneksi langsung (non-arbitrer) dan simulatif dengan petanda atau sumber acuannya. Di sinilah Sang Proklamator “Bung Karno”
patut menjadi sentral penentuan ikon dan landmarks yang menjadi unsur penting dalam pembentukan ciri khas dan positioning pariwisata Surabaya.

Baca juga:  Menjawab Tantangan Zonasi Pendidikan

Beberapa literatur menunjukkan adanya kesamaan penggunaan kata ‘ikon’ dalam ranah pariwisata dengan ‘simbol’ dan ‘representatif’. Pearce et al (2003) mengidentifikasi kategori untuk individu yang ditetapkan sebagai ikon atraksi wisata, yakni: ikon politik, dunia hiburan (film, musik), olah raga, eksplorer dan penemu, sastrawan, figur mistik, militer, religius serta pengusaha.

Untuk kesesuaian pengembangan destinasi, hanya
ikon yang relevan yang layak untuk ditentukan atau dipilih. Ikon wisata, yang harus ditetapkan oleh pemerintah kota, akan memperkuat oase perkotaan yang selama ini didesain sedemikian unik, nyaman dan khas oleh pemerintah, juga menjadi daya tarik yang kuat bagi wisatawan untuk datang.

Sebagai destinasi wisata perkotaan, karakter city tourism atau urban tourism lebih dikenal sebagai aktivitas memanfaatkan waktu luang di dalam kota. Melalui perspektif inilah pembangunan fasilitas umum di Surabaya, juga di kota lainnya, telah menjadi bagian dari penentu kekhasan obyek dan daya tarik wisata kota tersebut.

Baca juga:  Sisi Lain Terorisme di Selandia Baru

Dari segi produk yang ditawarkan, city tourism
memiliki perbedaan mendasar dibandingkan nature & culture tourism. Wisata perkotaan mengandalkan aspek kreativitas dan rekayasa insani atas sumber daya yang dimiliki sumber daya yang ada di kota agar layak disajikan sebagai produk wisata yang berdaya saing.

Sensasi wisata perkotaan pun jelas berbeda dengan wisata alam dan budaya. Singapura, Malaysia dan Thailand memberikan contoh betapa city tourism yang dielaborasikan dengan kemasan pemasaran canggih, ternyata mampu mengubah paradigma umat manusia bahwa berwisata tidak melulu ke pantai, gunung dan air terjun.

Berwisata tidak melulu berdekatan dengan alam yang eksoktik dan kebudayaan yang menarik, sekali pun dua hal itu adalah elemen vital produk pariwisata. Kiranya perayaan hari lahir Bung Karno menjadi momentum bagi daerah, kota dan pulau di Tanah Air untuk meningkatkan daya saing pariwisata masing-masing dengan merumuskan, menentukan dan mempromosikan ikon yang memperhatikan jejak hidup Putra Sang Fajar.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *