Oleh Kadek Suartaya
Istilah kebyar mengacu kepada sebutan seni pertunjukan Bali yang menguak pada awal abad XX. Bermula dari munculnya sebuah barungan (ansambel) gamelan di Bali Utara sekitar tahun 1914-1915. Kehadiran gamelan yang berkarakter ungkap musikal lugas, dinamis dan sarat dengan hentakan variatif ini menginspirasi serta menstilmulasi estetika seni tari baru.
Ciptaan gaya seni tari ini berkembang pesat dan mengkristal dengan sebutan seni kebyar. Kini, seni kebyar, baik sebagai genre seni pertunjukan tari maupun berdiri sendiri sebagai orkestra gamelan Gong Kebyar–berlaras pelog lima nada–telah tersebar di mancanegara. Di Bali, pementasan seni tari dengan iringan Gong Kebyar begitu sering dapat disaksikan penonton.
Lebih dari seabad seni kebyar telah berdialektika di tengah dinamika masyarakat Bali. Kesenian ini menunjukan fleksibelitasnya berinteraksi dalam irama gelombang transformasi budaya, sejak era penjajahan hingga sekarang. Cengkeraman kolonialisme seakan tak kuasa membendung fluktuasi seni kebyar pada dasa warsa pertama kehadirannya. Pada tahun 1920-an, I Ketut Marya, seorang penari asal Tabanan, secara natural berolah tari, dimana dari gereget improvisasi atas rangsangan tatabuhan gamelan kebyar, terwujud sebuah komposisi tari yang kini dikenal sebagai Tari Kebyar Duduk atau Kebyar Trompong.
Tari garapan Mario—nama populer Marya—tersebut, oleh seniman penerusnya dipandang sebagai sebuah tonggak pembaharuan tari Bali. Bersamaan dengan itu, debur seni kebyar juga membuncah semarak di belahan Bali Utara. Euforia seni kebyar itu kian menjadi-jadi serta meluas setelah kemerdekaan RI.
Atmosfer sebagai bangsa berdaulat menggelorakan penciptaan dan penyempurnaan seni kebyar yang telah dibuat sebelumnya. Tersebutlah, seniman I Wayan Peraupan dari Desa Jagaraga, Sawan, Buleleng, mengkonstruksi sebuah tari pada tahun 1920-an yang diberi nama Kebyar Legong. Watak tari kebyar yang gegap dan tangkas, pada bagian tengahnya disisipi kelembutlenturan legong, genre tari representasi seni pertunjukan Bali Selatan. Tari karya Peraupan—masyarakat mengenalnya sebagai Pan Wandres—ini menyemburkan kreativitas menakjubkan.
Bukan hanya seni kebyar dan legong saja yang dijalin indah pada tari itu, juga pada bagian belakangnya masuk elemen gerak tari Jauk, tari yang berkarakter keras beringas. Kebyar Legong yang berdurasi panjang, 30 menit, kemudian menjelajah waktu beradaptasi mentoleransi ruang kreativitas. Sekitar tahun 1950-an, I Gede Manik–murid Pan Wandres–memadatkan Kebyar Legong, menjadi tari tersendiri berdurasi lebih pendek yang diberi nama Trunajaya (Tarunajaya), menggambarkan pemuda patriot bangsa pembela Tanah Air.
Selain Kebyar Legong, kreativitas seni kebyar nan jenius tampak pada Tari Palawakya. Tari yang juga buah karya Pan Wandres ini bersemai dari deru tradisi mabarung Gong Kebyar antardesa di Bali Utara, terutama antara perwakilan desa Dangin Enjung dengan sekaa kebyar Dauh Enjung. Keseruan pentas bersanding itu, selain menyuguhkan tabuh instrumental, juga disertai unjuk unggul tari dan adu alunan palawakya–jenis tembang atau dharmagita berbahasa Kawi (Jawa Kuno)– lengkap dengan pengartos-nya (penerjemah).
Sengitnya persaingan dan gengsi dalam peristiwa mabarung itu, menggelorakan terobosan cipta seni. Dalam suatu kesempatan mabarung, Dangin Enjung menggebrak dengan tampilan seorang penari yang sekaligus bermain instrumen trompong sembari mengalunkan tembang, diberi nama Tari Palawakya. Tak lama setelah itu, Dauh Enjung tak mau kalah, membalas, juga dengan cipta tari berkonsep artistik perpaduan tari, karawitan, dan olah vokal.
Konsep artistik memadukan unsur seni, rupanya dijadikan “ideologi” dan dikelola sarat respek dalam perjalanan kreativitas seni kebyar. Jurus perciptaan ini dapat dibedah pada Kebyar Trompong, Kebyar Legong, dan Tari Palawakya, tiga karya seni yang dapat dirujuk sebagai pionir tari kebyar. Sejatinya, konsep artistik ini juga telah diwarisi dalam seni pertunjukan klasik Bali seperti dramatari Calonarang yang terajut dari unsur teater Gambuh, Arja, Topeng, Legong, Barong hingga Drama Gong. Demikian pula apa yang dikenal masyarakat Bali sebagai teater Prembon, tak lain dari lintas berkesenian secara saling isi mengisi, imbuh-imbuhan, oleh sejumlah pelaku seni pertunjukan dengan spesialisasi yang berbeda-beda.
Tari Palawakya sebagai salah satu ungkapan kreativitas seni di tengah ruang profan, dengan konsep artistik perpaduannya, menunjukkan laku kompromistis, baik pada medium estetiknya maupun menyangkut perspektif sensitifitas konteks desa- kala-patra-nya. Ketika tari ini diaktualisasikan dalam Festival Gong Kebyar 2007, masing-masing kabupaten/kota menunjukkan gaya yang berbeda, interpretasi tari, tatabuhan trompong, dan liukan tembang yang beragam. Keragaman reinterpretasi ini tampak menjadi medan pengayaan terhadap karya tari asal Bali Utara tersebut, namun anut, dengan bangunan artistik yang tetap kokoh, berbalur identitas khas estetikanya yang menyembul menawan. Seni tari sebagai budaya tak benda, memancarkan sukma humanis dan keadaban maknawi dalam peraduan masyarakat.
Mengingat esensi seni yang abadi dalam perubahan dan sadar pada potensi seni yang berpendar universal, tak bisa dinafikan bahwa kesenian akan tetap kontekstual dan berkontribusi konstruktif dalam kehidupan secara luas. Sejumput seni, tari Palawakya misalnya, dapat unjuk kiprah memuliakan martabat peradaban masyarakat. Adalah duet seniman muda, Sri Ayu Pradnya Larasari (penari) dan Bagus Bratanatyam (pengartos), dengan segala ketulusannya mempersembahkan tari Palawakya ke segenap penjuru Bali, di forum nasional hingga pentas internasional. Pesan moral saripati kehidupan disambungrasakan melalui keindahan alunan tembang dan elaborasi tuturan verbalnya. Ketika tampil di Universitas Malaya, Kualalumpur, Malaysia, 2018, mereka menyuguhkan tari Palawakya dengan selipan pantun, Si kancil yang tangkas suka mencuri mentimun, berlari melompat ditangkap pak tani. Artinya: Malaysia dan Indonesia bangsa serumpun, aman sentosa menjunjung harmoni.
Penulis, Pemerhati Seni Budaya dan Dosen ISI Denpasar