Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si

Dengan meminjam terminologi Giroux dan Arronnawitz, dapat dipahami bahwa pendidikan secara garis besar dapat dikategorisasi menjadi tiga paradigma, yakni paradigma pendidikan konservatif, liberal dan kritis. Paradigma pendidikan konservatif cenderung berorientasi pada upaya pemertahanan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur, yang menurutnya memiliki nilai-nilai yang sangat adiluhung.

Atau dalam bahasa lainya, dapat dikatakan bahwa
paradigma pendidikan konservatif cenderung
mengidealkan masa silam (past oriented) sebagai patron ideal dalam pendidikan. Dalam perspektif Paulo Freire paradigma ini sering dipadankan dengan kesadaran magis, yakni sebuah kesadaran yang tidak mampu melihat keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya yang menyebabkan berbagai realitas sosial itu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Atau dapat pula dikatakan bahwa kesadaran magis cenderung melihat bahwa berbagai realitas sosial yang terjadi dalam kehidupan ini, lebih disebabkan oleh sesuatu yang ada di luar kemampuan manusia.

Baca juga:  Vaksin COVID dan Perilaku Sosial

Kemudian paradigma pendidikan liberal cenderung berorientasi pada upaya untuk mengarahkan pola-pola perilaku peserta didik secara efektif dengan menekankan pada prestasi siswa secara personal. Dengan model paradigma pendidikan ini output yang
dihasilkan cenderung berorientasi pada pola-pola perilaku individualisme dan mengabaikan proses pembentukan sikap sosial secara kolektif.

Hal ini menurut Freire disebut sebagai kesadaran naif, yakni sebuah kesadaran yang cenderung mencari akar permasalahan yang dihadapi manusia pada dirinya sebagai mahluk individu. Jadi, dalam konteks ini
kesadaran naif dapat dimaknai sebagai sebuah kesadaran yang tidak mampu melihat penyebab permasalahan hidup yang dihadapi manusia melalui sistem struktur sosial yang dibentuk oleh manusia itu sendiri.

Sementara paradigma pendidikan kritis adalah sebuah paradigma pendidikan di mana sudut pandangnya lebih diorientasikan pada upaya-upaya untuk mengkritisi kemapanan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Kemapanan yang terjadi, umumnya disebabkan oleh struktur yang cenderung memproduksi dan mereproduksi ketidakadilan sosial dalam kehidupan masyarakat.

Baca juga:  Bunuh Diri Bareng, Miris, dan Tragis

Dalam pandangan Freire, paradigma pendidikan kritis setara dengan kesadaran kritis, yakni sebuah kesadaran yang melihat bahwa realitas merupakan satu kesatuan yang kompleks di mana antara satu faktor dengan faktor lainnya saling mempengaruhi satu sama lainnya. Atau dapat pula dikatakan bahwa kesadaran kritis adalah sebuah kesadaran yang mampu melihat bahwa permasalahan hidup yang dihadapi manusia acapkali disebabkan oleh struktur yang umumnya dibentuk oleh agen-agen sosial yang
secara langsung atau pun tidak berpengaruh
pula terhadap kehidupan agen itu sendiri.

Dalam pengembangan pendidikan dewasa ini di antara tiga paradigma yang ada mana yang seharusnya paling dominan diterapkan oleh institusi pendidikan, baik institusi pendidikan formal maupun institusi pendidikan non-formal? Dengan menggunakan analisis kritis, seharusnya lembaga-lembaga pendidikan saat ini, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal sudah waktunya untuk
menggunakan paradigma pendidikan kritis.

Baca juga:  Bali Antara Budaya dan Budaya Politik

Pasalnya, di era 1960-an dalam dunia pendidikan
muncul berbagai perspektif teori kritis, yang dipengaruhi oleh para pemikir mazhab Frankfrurt. Mazhab ini mengkritik aliran filsafat positivisme yang mereduksi paradigma dan metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial ke arah paradigma dan metode ilmu-ilmu alam. Akibatnya, hal-hal yang bersifat
dehumanisasi atau alienasi yang diakibatkan oleh proses modernisasi tidak mampu dilihat sebagai sesuatu yang harus dikritisi.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian ilmu-ilmu sosial cenderung bersifat mengukuhkan kemapanan sosial atau apa yang disebut status quo. Sementara diseberang sana, pendidikan dengan paradigma kritis cenderung mengusung jargon-jargon kebebasan dan kritik konstruktif terhadap ilmu
pengetahuan dan sistem sosial yang bersifat
dominan (Yusuf Lubis, 2006:13).

Penulis adalah Dekan Fakultas Pendidikan Agama, Seni, dan Budaya, Universitas Hindu Indonesia

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *