DENPASAR, BALIPOST.com – Komunikasi politik memegang peranan penting dalam menghadapi agenda pemilu serentak 2024 nanti. Perubahan minat publik dalam mencerna informasi, dari media konvesional ke platform media sosial atau populer disebut new media, menjadi isu menarik, dikaitkan sebagai saluran prioritas dari komunikasi politik itu.
Di luar dari segala kelebihan new media, yakni efektif, praktis dan jangkauan luas, juga ada dampak buruk yang harus diantisipasi. Sehingga komunikasi politik itu terbangun menjangkau khalayak dan menyejukkan.
Isu ini menjadi bahan diskusi yang menarik dalam Webinar Nasional Communication Series Edisi Juni 2022, Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Hindu Pascasarjana UHN IGB Sugriwa Denpasar, Rabu (29/6). Agenda yang diselenggarakan melalui zoom ini, mengambil tema “Komunikasi Politik dan Eksistensi New Media di Era Demokrasi”.
Webinar Nasional ini menghadirkan nama-nama besar di bidangnya sebagai narasumber. Sebagai keynote speaker, yakni Direktur Pascasarjana UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar Prof. Dr. Relin Denayu E, M.Ag.
Kemudian Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Prof. D.Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP., M.Si sebagai narasumber I, Ketua KPID Provinsi Bali I Gede Agus Astapa, S.Sos., M.M sebagai narasumber II dan Dosen UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar Dr. I Gusti Ayu Ratna Pramesti Dasih, S.Sos., M.Si sebagai narasumber III.
Prof. Relin dalam kesempatan ini menekankan perubahan peradaban selalu dimulai dari komunikasi. Sehingga pembangunan bangsa tak bisa dipisahkan dari komunikasi yang sekaligus menjadi dasar perubahan sosial.
Perkembangan zaman, telah membawa perubahan komunikasi, seperti yang terjadi saat ini dengan kehadiran internet. Ini menghubungkan satu dengan yang lainnya secara independen.
Dalam perkembangannya, internet melahirkan new media atau dikenal sebagai media sosial. “Era new media dalam konteks komunikasi politik sangat dibutuhkan untuk kepentingan publisitas. New media membawa perubahan yang cepat, baik itu positif maupun negatif. Dampak buruknya seperti masifnya black campaign dan konten dengan isu sensitif yang memicu konflik antar pendukung,” kata Prof. Relin.
Prof. Hermin dalam paparannya menegaskan bahwa khalayak agar selalu berhati-hati mencermati perubahan komunikasi politik dari media konvensional ke new media. New media, menurut dia, sesungguhnya hanya flatform. Digital etiknya masih belum kuat, layaknya media konvensional.
Media itu sejatinya sebagai instrumen atau forum untuk diskusi publik yang tercerahkan, rasional, kritis, dan tidak memihak tentang apa kepentingan bersama dalam masalah budaya dan politik. “Internet telah menjadi ruang publik modern, media sosial dan mesin pencari memiliki kekuatan luar biasa dan tanggung jawab yang berat untuk memastikan bahwa platform mereka melayani kepentingan publik. Flatformnya ada, tetapi ekosistemnya ini yang tidak siap. Sekarang semua berlomba-lomba untuk masuk ke new media. Ini digital etiknya harus kuat. Ini yang belum ada dan siap. Maka, dunia pers seharusnya tidak tertekan, tetapi juga harus terus bergerak,” tegasnya.
Ketua KPID Provinsi Bali Agus Astapa, juga melihat masifnya dampak buruk komunikasi politik pada new media baik itu black campaign hingga hoax, harus dihadapi. Isu ini akan semakin panas seiring dengan makin dekatnya pelaksanaan pemilu serentak.
Ia menilai di sini peran media konvensional masih sangat dibutuhkan. Secepat-cepatnya new media menghasilkan informasi, menurut dia, khalayak masih mencari legitimasi kebenaran beritanya pada media konvensional.
Ini sejalan dengan tujuan KPID Bali, agar masyarakat menjadi lebih cerdas dan berkualitas. “Mari menjadi orang yang memberikan kesejukkan dan tuntunan kepada masyarakat. Maka, bijaklah bermedia sosial. Sebab, bermedia sosial pertanggungjawabannya langsung ke setiap pribadi,” kata Agus Astapa. (Bagiarta/balipost)