Achmad Ali. (BP/Istimewa)

Oleh Achmad Ali

Saat ini, fenomena melambatnya perekonomian global tengah menjadi sorotan dunia. Dalam siaran persnya, Kamis (23/6/2022), Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, mengatakan seiring terkendalinya pandemi Covid-19, tantangan dan risiko global bergeser ke arah peningkatan harga komoditas, memanasnya tensi geopolitik, serta percepatan pengetatan moneter di
Amerika Serikat.

Selain itu, disrupsi suplai yang tak berkesudahan, serta meningkatnya inflasi dan keterbatasan likuiditas global semakin menambah downside risk (risiko negatif) terhadap prospek perekonomian global. Pertumbuhan ekonomi global diprediksi melemah.

Beberapa lembaga internasional kembali menurunkan proyeksinya, antara lain IMF (2022: 3,6 persen dan 2023: 3,6 persen) dan World Bank (2022: 2,9 persen dan 2023: 3,0 persen). Tekanan inflasi global yang
masih terus berlanjut mendorong kenaikan suku
bunga di banyak negara serta berpotensi mendorong peningkatan cost of fund, termasuk di Indonesia.

Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, merespons kenaikan inflasi tersebut dengan menempuh pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif. Hal tersebut berpotensi menahan pemulihan perekonomian global dan mendorong peningkatan risiko stagflasi.

Betapa tidak, stagflasi global menjadi ancaman serius bagi semua negara termasuk Indonesia. Kata stagflasi pertama kali dikenalkan oleh seorang politisi Inggris Iain Macleod pada tahun 1960-an (Harris Turino, 2022). Stagflasi menggambarkan kondisi ekonomi Inggris yang tengah menghadapi tekanan kala itu. Saat memberikan pidato di Dewan Rakyat Britania Raya, Macleod menggambarkan kondisi inflasi sekaligus stagnasi yang terjadi di Inggris sebagai situasi stagflasi.

Baca juga:  Konsep Keberlanjutan dalam Bisnis

Istilah stagflasi kemudian kembali digunakan pada
resesi tahun 1970-an seiring krisis bahan bakar saat Amerika Serikat mengalami pertumbuhan PDB negatif selama lima kuartal berturut-turut. Secara teoritis dapat dikatakan, dunia dalam kungkungan stagflasi dinilai sangat membahayakan. Karena stagflasi adalah sebuah kontradiksi dari gagasan ekonomi yang sehat.

Lantas, sejauhmana fenomena stagflasi bagi Indonesia? Ada dua hal yang pantas kita beri perhatian. Pertama, jika dilihat dua indikator utama terjadinya stagflasi, yakni tingginya inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, kondisi Indonesia memang terbilang masih “cukup aman”.

Kendati begitu, kita perlu mewaspadai beberapa faktor pemantik inflasi di Indonesia setidaknya hingga bulan Juni tahun ini, antara lain kenaikan harga komoditas pangan, kebutuhan pokok dan komoditas energi; kenaikan BBM pertamax; kenaikan tarif listrik
baru per 1 Juli bagi pelanggan rumah tangga nonsubsidi dengan daya 3.500 VA ke atas; kenaikan PPN menjadi 11 persen; pemulihan permintaan konsumen (inflasi natural); efek kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat; efek ketidakpastian ekonomi global pasca pandemi Covid-19; dan efek perang Rusia-Ukraina.

Baca juga:  Pelajaran dari Polusi Jakarta

Seperti dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), laju inflasi tahun kalender di Indonesia Januari – Juni 2022 sudah mencapai 3,19 persen. Angka ini lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun sebelumnya 0,74 persen. Juga inflasi tahun ke tahun (Juni 2022 terhadap Juni 2021) tercatat 4,35 persen, lebih tinggi dibanding periode tahun sebelumnya 1,33 persen.

Kedua, selain inflasi yang merangkak naik, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga alami perlambatan meski trennya menunjukkan ke arah perbaikan. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2022 sebesar 5,01 persen (year on year) atau sedikit agak melambat dibanding kuartal sebelumnya 5,02 persen.

Sayangnya, konsumsi rumah tangga masih tercatat sebagai sumber pertumbuhan tertinggi 2,35 persen, dan bukan pada investasi maupun ekspor pada kuartal I 2022. Selain itu, konsumsi listrik tumbuh positif, ditopang konsumsi listrik industri dan bisnis yang menunjukkan masih kuatnya aktivitas dunia
usaha.

Baca juga:  Malu jika Konflik Politik Terus-terusan Mendera Indonesia

Optimisme masyarakat meningkat pada Mei 2022. Indeks Keyakinan Konsumen kembali mengalami peningkatan dari April yang sebesar 113,1 menjadi 128,9 pada Mei. Selain itu, mobilitas masyarakat juga terus meningkat seiring terkendalinya pandemi Covid-19, rata-rata mobilitas pada kuartal II mencapai 18,6,
melonjak jauh dari kuartal I yang hanya mencapai 7,1.

Menteri Keuangan RI Sri Mulyani pun sempat mengungkapkan dua cara penanganan stagflasi. Pertama, pengendalian inflasi. Langkah ini dilakukan melalui normalisasi moneter bank sentral. Namun, cara ini akan menimbulkan tekanan pada pertumbuhan ekonomi.

Cara kedua yaitu, menjaga pertumbuhan ekonomi. Cara ini berpotensi membuat inflasi tetap tinggi. Alhasil, pemangku kebijakan harus bisa menyeimbangkan dua sisi tersebut. Tentu saja, hal ini cukup dilematis dan tidak mudah.

Penulis, Statistisi Ahli Madya, Koordinator Fungsi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik pada BPS Provinsi Papua Barat

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *