Oleh I Gusti Ketut Widana
Penyelenggaraan PKB belakangan ini tak ubahnya seperti sebuah tampilan pestanya rakyat Bali dengan menjadikan topeng kesenian sebagai pemanis untuk menambah kekuatan magnet. Bukan dengan harapan pengagungan, pemuliaan dan pengluhuran kebudayaan Bali melalui tampilan kreativitas dan produktivitas yang semakin berkualitas, tetapi justru untuk menyedot target kedatangan pengunjung.
Inilah yang membuat sekaligus menyulap moment PKB, diambil manfaat oleh para pelaku ekonomi sehingga berubah menjadi Pasar Kesenian Bali. Mirip pasar seni lainnya seperti yang sudah ada di Sukawati atau Guwang, lengkap dengan pajangan karya seni kontemporer yang berkembang mengikuti selera konsumen, sesuai pesanan, bersifat kodian dan bertarif pasaran.
Idealisme PKB kini tampak terperangkap pada titik jenuh, syukur belum masuk ke titik nadir. Bukan aktivitas, kreativitas dan produktivitas berkebudayaan yang semakin mengunggulkan nilai-nilai budaya, melainkan terjerembab pada model pasar seni, pameran pembangunan atau expo dan sejenisnya. Dipandang dari sisi fenomenologis, ini merupakan suatu gejala baru, menggambarkan betapa apa yang namanya konsep ideal bisa dengan cepat berubah, tepatnya diubah mengikuti kepentingan pragmatis dan ekonomis dalam bingkai kapitalis beraroma hedonis. Bahwa apa yang dipandang akan mendatangkan keuntungan plus memberikan kesenangan, itulah yang dikerjakan. Tak peduli dengan tuntutan “etos berkebudayaan” yang lebih mengagungkan kreativitas (seni budaya) dari pada produktivitas (materi).
Setali tiga uang dengan peran aktor PKB yang didominasi aneka jenis seniman, meski kini cenderung bermetamorfosa menjadi “seni-maan”. Konsep awalnya, berbagai aktivitas, kreativitas dan produktivitas berkesenian adalah sebaga media bhakti, disebut “seniman” – seni berdasarkan keimanan (ngayah-sembah). Tetapi kini tidak jarang manumadi menjadi “seni-maan”, orientasinya sudah bergerak sebagai kesempatan ngalih bati (mabayah, maan upah). Dapat disebut juga medagang seni atau seni yang diperdagangkan, semacam komodifikasi dalam dunia ilmu kajian budaya.
Seperi lazimnya dunia perdagangan (jual beli), di dunia seni tak lepas juga dari hukum transaksi. Semua elemen atau komponen yang terlibat di dalamnya dapat bekerja sama menjalin simbiosis mutualisme. Suatu hubungan yang saling menguntungkan, mulai dari pekerja seni (pemahat, pengukir, pelukis panari, penabuh dll.) yang kemudian diakomodasi dalam suatu wadah (artshop, pasar seni gallery, brooker seni, sekaa kesenian) untuk dijual ke pasaran melalui promosi, termasuk lewat ajang PKB dengan harapan mendulang keuntungan (bati).
Begitu panjangnya mata rantai perjalanan hasil karya seni dari pekerja seni (produsen) sampai ke tangan konsumen membuat harganya menjadi relatif tinggi meski tidak selalu dibarengi dengan peningkatan penghasilan para seniman. Bahkan seperti sudah menjadi rahasia umum justru orang-orang yang bukan pekerja seni (seniman), dan hanya bekerja atau mendapatkan pekerjaan dan dunia berkesenian mereka acapkali berhasil meraup keuntungan jauh lebih tinggi. Dari fakta itu muncul pertanyaan, Seni maan apa? Artinya, apakah dari dunia seni yang digeluti, apalagi dilakoni dengan penuh totalitas seorang seniman sudah mendapatkan penghargaan layak, pantas dan patut?
Dalam konteks PKB siapa yang lebih diuntungkan, apakah sosok seniman atau para seni-maan? Realitanya, arena PKB menjadi ramai dan hingar-bingar bak arena pasar, bukan lantaran kreativitas berkebudayaan atau berkeseniannya yang semakin adiluhur dan adiluhung, melainkan lebih pada aktivitas dan produktivitas arena dagangnya yang sarat muatan target omzet penjualan. Jika dipertanyakan soal kreativitas berkebudayaan/berkesenian berkualitas, sangat susah mendapat jawaban pantas. Kecuali membludaknya pengunjung yang lagi liburan berhasrat mencari dan menikmati beraneka rupa hiburan (rekreasi dan konsumsi).
Inilah sebuah fenomena sekaligus realita PKB kekinian yang membuat konsep idealismenya menyerah pada pengaruh materialisme-kapitalisme. Sungguh sangat sumir, nyaplir bin sangglir, hanya demi menggairahkan suasana arena PKB, keagungan dan keluhuran konsep buah pikir idealisme budayawan Ida Bagus Mantra selaku penggagas harus diplintir lalu bergulir mengikuti trend pengaruh materialisme yang telah terkontaminasi mind-set ideologi pasar. Sebuah ideologi sekuler yang hanya mementingkan kebutuhan primer dalam bentuk keuntungan material, meski harus mengorbankan substansi spiritual untuk menjaga taksu Bali agar tetap adiluhur, adiluhung dan mumpuni. Akhirnya, eksistensi Seniman pun harus berhadapan dengan sepak terjang para Senimaan. Sebuah ironi Pesta Kesenian Bali.