NEGARA, BALIPOST.com – Polemik tanah di Gilimanuk, Jembrana kembali bergejolak. Warga Gilimanuk mempertanyakan tanah yang mereka tempati dan meminta pemerintah daerah memperjuangkan menjadi hak milik.
Pasalnya, mereka sudah puluhan tahun tinggal. Bahkan dua bulan terakhir, gerakan bersama warga untuk memperjuangkan sertifikat hak milik semakin gencar. Warga dari enam lingkungan membentuk Aliansi Masyarakat Peduli Tanah Gilimanuk (AMTAG) serta membentuk sekretariat di pinggir jalan menuju Pelabuhan Gilimanuk. Baliho besar terkait tuntutan mereka juga dipasang di depan sekretariat.
Pembentukan perwakilan warga ini guna memohon pemerintah untuk memperjuangkan tanah hak milik yang mereka tempati. Selama bertahun-tahun, warga menempati dengan status HPL (hak penggunaan lahan) dan beberapa HGB (Hak Guna Bangunan).
Saat ini mereka membayar kewajiban berupa sewa lahan dan pajak bangunan setiap tahunnya kepada pemerintah daerah. “Intinya masyarakat Gilimanuk memohon kepada pemimpin daerah, untuk membantu masyarakat melepas HPL di pemerintah pusat dan menindaklanjuti menjadi SHM,” kata Supriyono, warga lingkungan Arum, Gilimanuk, Minggu (10/7).
Gerakan bersama ini menuntut hak sebagai warga negara dalam konteks agraria. Secara aturan, tanah yang ditempati sudah lebih dari 20 tahun bisa diajukan dijadikan hak milik (SHM). Sementara warga Gilimanuk sudah puluhan tahun menetap, bahkan mulai lahir di Gilimanuk.
Selain gerakan bersama serta memasang baliho ajakan untuk mengumpulkan surat dan dukungan di relawan masing-masing Banjar upaya permohonan sertifikat hak milik. Akhir pekan lalu, aliansi dan perwakilan warga Gilimanuk mendatangi kantor Pemkab Jembrana dan rumah rakyat, Kantor DPRD Jembrana. Namun sayangnya, tidak ada yang dapat ditemui dari pejabat maupun wakil rakyat. Rencananya Senin dan Selasa ini mereka akan kembali datang ke DPRD Jembrana dan Bupati Jembrana.
Sekedar informasi, DPRD Jembrana bersama pemerintah daerah belum lama ini, juga telah membentuk panitia khusus (pansus) berkaitan dengan persoalan tanah Gilimanuk. Namun, dari hasil pansus belum ada aturan yang dapat mengubah status tanah tersebut menjadi hak milik. Pansus ini dibentuk lantaran permasalahan tanah, termasuk adanya temuan masih tertinggalnya sewa sebesar Rp 870 juta. (Surya Dharma/balipost)