Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Pencapaian skor MCP (Monitoring Control for Prevention) Bali sebesar 84,30 pada tujuh area intervensi perbaikan tata kelola pemerintah daerah, dalam Program Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi (Korsupgah) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menunjukkan bahwa Bali serius mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hal tersebut sekaligus sebagai bukti bahwa Bali telah melakukan optimalisasi pendapatan dan aset daerah tanpa korupsi (Bali Post, 21/10/2020).

Gubernur Bali, I Wayan Koster memang menginginkan pengelolaan aset pemerintah provinsi Bali dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru bagi Bali. Sudah selayaknya bahwa aset daerah harus menghasilkan keuntungan/benefit bagi daerah, meskipun tidak harus selalu dalam bentuk finansial jangka pendek semata (misal : PAD). Adakalanya benefit atas aset daerah dapat berupa peningkatan tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat warga
daerahnya.

Baca juga:  Merdeka Belajar, Pedagogi Pembebasan

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengemukakan bahwa berdasarkan pengalamannya di berbagai negara, ada kekeliruan kita dalam mengelola aset negara. Jika di negara maju orangnya bekerja biasa saja, namun asetnya bekerja keras.

Sementara di Indonesia orangnya bekerja keras sedang aset yang dimilikinya pada tidur, tidak bekerja/diberdayakan. Selama ini pengelolaan aset daerah memang lebih sering membutuhkan anggaran/cost dalam APBD. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tata kelola berbagai aset daerah masih sangat bergantung dengan ketersediaan anggaran pemerintah daerah.

Kondisi ini tentu saja membuat keberadaan aset justru menjadi beban daerah. Sebagaimana dikemukakan oleh Robert Toru Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad’s Cashflow Quadrant (Tahun 2000),
bahwa situasi finansial dapat dilihat dalam 4 (empat) kuadran yang berbeda. Setiap kuadran menunjukkan cara pandang kita atas situasi finansial yang terjadi sesuai langkah kerja kita.

Baca juga:  Ekonomi Hijau dan Kebakaran Hutan

Pada kuadran I (employee) kita bertindak sebagai buruh/karyawan yang menerima upah. Di kuadran II (self￾employed) kita bertindak layaknya pekerja lepas.
Sementara di kuadran III (business owner) tindakan
kita bagai wiraswastawan.

Sementara kuadran IV (investor) menggambarkan tindakan kita sebagai seorang profesional pemegang
saham suatu aset. Optimalisasi pendapatan daerah dan manajemen tata kelola aset daerah memang memerlukan Unit Pengelola Aset Daerah. Unit pengelola ini harus didukung oleh tenaga profesional yang ahli di bidangnya, sesuai dengan aset yang dimilikinya.

Kondisi ini dibutuhkan mengingat bahwa ada perbedaan signifikan antara siklus birokrasi
dengan siklus bisnis. Unit pengelola aset ini memang sebaiknya tidak dipimpin oleh orang dari birokrasi, namun seyogyanya dipimpin oleh kaum profesional.

Sementara pihak birokrasi cukup duduk selaku pengawas pengelolaan saja dan tidak ikut aktif mengelola aset daerah tersebut. Kondisi ini
diperlukan mengingat adanya perbedaan mindset dalam melihat sebuah aset daerah.

Baca juga:  Pertanian Kota Berkelanjutan

Hal tersebut perlu dipahami mengingat bahwa aset daerah itu sendiri pada dasarnya sudah merupakan suatu modal, yang harus dijalankan guna memperoleh
keuntungan lebih lanjut bagi daerah. Sehingga pemerintah daerah tidak perlu lagi menyediakan dana sepeserpun dari anggaran, guna melakukan kerjasama dengan pihak ketiga selaku investor.

Seorang profesional akan melihat suatu aset daerah sebagai suatu potensi modal yang harus diberdayakan dan dapat menghasilkan keuntungan. Sementara seorang birokrat dalam mengelola aset akan cenderung mempertanyakan berapa anggaran
yang disediakan guna mengelola suatu aset.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *