JAKARTA, BALIPOST.com – Kepemilikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan kemiskinan ada korelasi. Hal itu dikatakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. “Kemiskinan tertinggi itu ada di wilayah timur Indonesia, khususnya Papua, dan ternyata mayoritas penduduk miskin yang tidak punya NIK ada di Papua sekitar 50,78 persen,” kata Perencana Muda Kementerian PPN/Bappenas Fisca Miswara Aulia alam diskusi publik yang diselenggarakan Indef secara hibrid, di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Rabu (13/7).
Fisca menuturkan temuan tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan besar penduduk miskin tersebut tidak terdaftar dalam database, sehingga banyak yang belum mendapatkan bantuan yang seharusnya didapatkan. “NIK sangat penting karena untuk bisa menerima program bantuan sosial, mereka harus terdaftar dalam daya terpadu kesejahteraan sosial, dan salah satu prasyarat utamanya adalah memiliki NIK,” ujarnya.
Kementerian PPN mencatat sebanyak 22,72 persen penduduk miskin berusia 0-17 tahun atau 2,4 juta jiwa belum memiliki akta kelahiran. Sedangkan 1,5 juta jiwa atau 14,29 persen tidak mampu menunjukkan akta kelahiran meski mengaku punya.
Sedangkan sebanyak 7,54 persen penduduk miskin belum memiliki NIK yang dapat menjadi proxy atas kepemilikan KTP dan dokumen kependudukan legal lainnya, seperti Kartu Keluarga (KK). “Hal krusial untuk dapat terdaftar dalam penerima bansos yaitu kepemilikan dokumen kependudukan seperti kepemilikan akta kelahiran untuk anak dan juga KTP khususnya untuk penduduk miskin dan rentan,” jelasnya.
Adapun secara persentase, penduduk miskin tertinggi berada di wilayah bagian timur dan tengah. Di urutan pertama ada Papua, lalu Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sedangkan secara absolute, 5 provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak berada di Jawa Timur (4,4 juta), Jawa Tengah (3,9 juta), dan Jawa Barat ( 3,9 juta).
Lebih lanjut Fisca menyampaikan permasalahan data penduduk miskin/rentan di desa/kelurahan didasari oleh beberapa faktor yakni pendataan penduduk, interkoneksi data, pendanaan, lalu sistem informasi, ketersediaan SDM, dan kelembagaan. “Tantangan dalam penyaluran bantuan, mereka belum semua mempunyai privilege untuk memilih bank dan akses poin. Seperti di Papua yang kondisi geografis yang sulit sehingga cost untuk ke sana lebih besar dibandingkan bantuan yang mereka dapatkan,” jelasnya,
Selain itu juga ada tantangan terhadap distribusi akses poin yang tidak memadai dan isu pengalaman pengguna terkait hambatan otentifikasi, teknologi digital yang kurang bersahabat serta hambatan pada proses pemeriksaan dan kejelasan data. (Kmb/Balipost)