Oleh Ribut Lupiyanto
Pascawafatnya Tjahyo Kumolo pada Jumat (1/7), posisi definitif Menteri PAN-RB baru belum diputuskan Presiden Jokowi. Posisi ad interim hingga kini masih dijabat oleh Tito Karnavian.
Siapapun nanti yang terpilih, tantangan berat menanti khususnya terkait kompleksitas permasalahan birokrasi. Wajah birokrasi sering tertampar akibat rendahnya integritas aparat birokrasi, misalnya
korupsi.
Penyakit birokrasi yang sudah kronis membutuhkan akselerasi reformasi. Upaya ini juga menjadi jalan bagi pemutusan lingkaran setan tindak korupsi.
Pelaksanaan reformasi birokrasi telah mendapatkan landasan yang kuat melalui peraturan perundangan. Reformasi birokrasi terjadi perubahan paradigma dari UU Nomor 5 tahun 1974 yang menggunakan the structural efficensy model menuju UU Nomor 22 tahun 1999 yang selanjutnya diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 yang menggunakan the local democracy model (Tim Fisipol Unwar, 2006).
Selanjutnya, pelaksanaan reformasi birokrasi dikuatkan oleh Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Hingga kini baru 13 kementerian/lembaga yang melaksanakan reformasi birokrasi instansi (RBI). Peningkatan koordinasi serta penajaman dan pengawalan pelaksanaan reformasi birokrasi juga telah ditempuh.
Lemahnya koordinasi antar lembaga pemerintah mengakibatkan praktik korupsi dan suap masih tinggi di lembaga-lembaga publik. Layanan birokrasi masih ternodai karena praktek pungutan liar (pungli). GCB (2013) menyebutkan 1 dari 3 orang yang berinteraksi dengan penyedia layanan publik di Indonesia masih melakukan praktik suap dengan berbagai alasan.
Pungutan liar (pungli) menjadi penyakit layanan bikrorasi dan masuk dalam lingkaran setan korupsi. Pemerintah sejak 2016 sebenarnya telah membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) dan menjalankan Operasi Pemberantasan Pungli dan Penyelundupan (OPP). Namun kiprahnya timbul tenggelam dan kini kurang terdengar lagi gaungnya.
Indonesia juga menempati urutan ketujuh dalam indeks Kapitalisme Kroni 2016 versi The Economist. Dampak kapitalisme kroni menyebabkan negara berkembang kurang produktif dan hanya menyumbang 43 persen pendapatan global.
Indonesia telah mengalami pengalaman pahit terkait kapitalisme kroni selama 32 tahun saat Orde Baru.
Kapitalisme kroni menjadi bagian gidak terpisahkan dari sengkarut korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Alhasil ekonomi ambruk dan politik memanas hingga menumbangkan rezim raksasa Orba.
Reformasi Birokrasi
Penyakit kronis birokrasi dan korupsi telah membentuk lingkaran setan yang sulit dicari hulu hilirnya. Untuk itu satu-satunya jalan adalah pemutusan lingkaran dari manapun sisinya.
Presiden Jokowi diharapkan tidak main-main terkait kinerja birokrasi. Kekuatan pemerintah salah satunya tergantung pada kualitas birokrasi. Konsekuensi logisnya mesti melakukan optimalisasi reformasi
birokrasi, yaitu melanjutkan yang berjalan baik dan membuat program reformasi baru.
Pemberantasan korupsi memiliki sistematika rencana strategis dan panduan peta jalan. Proporisonalitas antara pencegahan dan penindakan diperlukan.
Asas keadilan dan transparansi penting dibuktikan. Kredibilitas dan integritas jajaran tim mesti menjadi jaminan. Alih-alih memberantas, jangan sampai
justru membuka celah baru hadirnya pungli tambahan potensi korupsi yang lebih besar.
Skala prioritas penting dipilih mengingat keterbatasan sumberdaya. Kasus kecil tetap diperhatikan, namun kasus besar mesti harus diutamakan. Kroni-kroni kelas kakap mestinya lebih disasar dari pada kelas teri yang sebagian besar melibatkan kalangan bawah
dan kurang didasari pengetahuan regulasi yang memadai.
Upaya penindakan mesti terus dilakukan dengan tujuan memberikan efek jera kepada pelaku maupun calon pelaku. Upaya lain adalah peningkatan sinergisitas antar instansi dalam sistem pencegahan korupsi.
Sinergi juga dijalankan dengan penegak hukum yang
sudah mapan, seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Fokus pemberantasan korupsi mesti lebih mengarah ke hal subtansial dan akar permasalahan. Prinsip dan peta jalan dapat mengikuti gerak pemberantasan korupsi.
Penulis, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)