Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Siapa tak kenal tanah Papua. Wilayah yang sering diibaratkan sebagai kawasan sekeping tanah surga di khatulistiwa. Hal ini mengingat keindahan alam dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah di tanah Papua. Namun siapa sangka bahwa bencana kelaparan dan kurang gizi masih mewarnai beberapa wilayah di Papua.

Apa yang salah sehingga masih ada warga Papua mengalami bencana kelaparan dan kurang gizi, sementara hutan sagu terbentang luas di kawasan pantai. Sedang ubi jalar dengan beraneka varietasnya tumbuh subur di wilayah pegunungan. Dua sumber pangan dengan kandungan protein nabati yang tinggi.

Memang sejak dasa warsa awal tahun 2000-an, telah terjadi perubahan budaya asupan makanan pokok warga Papua. Jika sebelumnya ubi jalar dan sagu menjadi makanan pokok warga Papua, terhitung sejak ada program beras gratis untuk keluarga miskin (raskin) dari pemerintah pusat, masyarakat mengalami ketergantungan pada beras.

Baca juga:  Ekonomi Bertumpu pada SDA, Inovasi Indonesia Masih Rendah

Mayoritas anak-anak yang tinggal di kampung tidak lagi makan sagu. Di Kabupaten Boven Digoel, sebagian masyarakat suku Korowai mulai meninggalkan sagu dan beralih ke beras. Sementara di Kabupaten Jayawijaya masyarakat juga mulai meninggalkan ubi jalar sebagai makanan pokok mereka, dan beralih ke beras.

Secara perlahan namun pasti, terjadi perubahan ekonomi kebudayaan warga Papua. Saat ini nasi dan mi instan sudah menjadi menu utama dalam keseharian budaya kuliner mereka. Utamanya melalui bantuan sosial (bansos) beras dan mi instan atau adanya bantuan langsung tunai (BLT). Jika bantuan belum datang, mereka akan berhutang mi instan ke warung.

Pada kelanjutannya, ekonomi kebudayaan warga Papua mulai bergantung pada dunia luar. Jika sebelumnya warga Papua dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan ekonomi keseharian mereka melalui kegigihan budaya bertanam ubi jalar dan mengolah sagu, saat ini mereka lebih menggantungkan pada beras dan mi instan.

Baca juga:  Mengapa Harus Berunjuk Rasa?

Warga Papua saat ini banyak yang menikmati zona nyaman kemudahan membeli beras dan mi instan. Kemandirian ekonomi kebudayaan warga Papua berubah menjadi ekonomi yang tidak lagi dilandasi oleh local wisdom budaya tradisi nenek moyang mereka. Ekonomi warga Papua menjadi bergantung pada peran serta pihak di luar Papua.

Tidak ada salahnya jika Bali berkaca pada perubahan ekonomi kebudayaan yang terjadi di Papua. Sejak booming industri pariwisata Bali pada dasawarsa 90-an, krama Bali berbondong beralih kegiatan ekonominya pada dunia pariwisata. Jatidiri ekonomi kebudayaan krama Bali dalam budaya bercocok tanam mulai diabaikan.

Kilau dolar wisatawan mancanegara sedikit banyak memengaruhi pola kegiatan keseharian krama Bali. Buah-buahan sarana upakara dalam banten cenderung menggunakan buah impor, bukan hasil dari ladang sendiri. Bahkan sarana jajanan tidak lagi menggunakan jaja Bali dari paon sendiri, namun dipakai aneka makanan dalam sachet produk pabrikan.

Baca juga:  Galungan: Fenomena ”Mamenjor”

Ketergantungan dengan pihak luar menjadi semakin tinggi. Ekonomi kebudayaan krama  Bali tidak lagi mandiri dalam kegigihan bercocok tanam beserta budaya subak warisan para leluhur krama Bali. Kedatangan wisatawan utamanya dari mancanegara menjadi sandaran utama ekonomi Bali. Saat wisatawan tidak bisa hadir karena pandemi, ekonomi Bali luruh.

Barangkali pandemi Covid-19 bagai upaya keempat Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam mengingatkan krama Bali agar bertindak mulat sarira atas keseharian kehidupan ekonomi kebudayaannya. Perekonomian Bali melalui industri pariwisatanya, pernah porak-poranda akibat peristiwa bom Bali I, bom Bali II, serta erupsi Gunung Agung.

 

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *