I Nyoman Rutha Ady. (BP/Istimewa)

Oleh I Nyoman Rutha Ady, S.H., M.H.

Pemerintah bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepakat menetapkan tanggal 14 Februari 2024 menjadi pelaksanaan pesta demokrasi untuk memilih presiden dan wakil presiden. Pada saat yang sama juga akan dipilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat, DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) provinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Sanjang 77 tahun sejarah berdirinya Republik Indonesia, pemilu sudah berlangsung beberapa kali. Pemilu pertama kali dilaksanakan pada tahun 1955 dan menjadi satu-satunya pemilu dalam catatan sejarah rezim Orde Lama yang berkuasa sepanjang 21 tahun (1945 – 1966). Selanjutnya pemerintahan Orde Baru yang berkuasa sepanjang 32 tahun (1966 – 1998) melaksanakan pemilu sebanyak enam kali (1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997). Dilanjutkan pemerintahan era reformasi (1998 –saat ini) sudah berhasil melaksanakan pemilu sebanyak lima kali (1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019). Masing-masing rezim memiliki dinamika penyelenggaraan pesta demokrasi yang berbeda-beda.

Penguasa Orde Lama melaksanakannya di bawah dominasi 100 partai politik sebagai peserta pemilu dan juga dibayang-bayangi instabilitas keamanan nasional. Ketika itu  Indonesia sedang menghadapi kelompok-kelompok rakyat bersenjata yang mengganggu keamanan di beberapa daerah dengan tujuan ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan. Sedangkan pesta demokrasi pada era Orde Baru lebih fokus untuk memangkas jumlah partai politik peserta pemilu dengan slogan demokrasi Pancasila. Pemilu pertama tahun 1971 penguasa Orde Baru berhasil memperkecil jumlah peserta pesta demokrasi dengan 10 partai politik saja. Rezim yang berkuasa saat itu nampak sekali ingin melanggengkan kekuasaan dengan terus menekan jumlah partai politik peserta pemilu. Upaya ini berhasil dengan menetapkan peserta pemilu yang kedua pada tahun 1977 dengan tiga partai politik saja dan dilanggengkan  hingga rezim ini tumbang tahun 1998. Sistem demokrasi sepanjang 32 tahun kekuasaan Orde Baru  merupakan perwujudan sistem negara dan pemerintahan di Indonesia yang menampakkan ciri-ciri  rezim otoritarian. Presiden sebagai figur sentral memiliki kekuasaan yang luar biasa bisa mengatur kekuasaan legislatif dan yudikatif sehingga  tidak ada check and balance (keseimbangan kekuasaan).

Baca juga:  Antara DPD dan Parpol Tak Bisa Dipisahkan

Pesta Rakyat

Pemilu setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru mulai mencari bentuk pesta demokrsai yang benar-benar bertujuan memberikan hak kepada masyarakat untuk memilih wakil-wakil mereka di lembaga legislatif tingkat pusat dan daerah. Untuk mewujudkan keinginan agar pemilu benar-benar menjadi pesta milik rakyat lima tahunan, beberapa kali landasan hukum pelaksanaan pemilu disempurnakan melalui pembentukan undang-undang (UU) baru dengan berbagai peraturan pelaksanaan (PP)-nya.

Baca juga:  Pendidikan Kritis Vs Pendidikan Konservatif

Sesungguhnya, pemilu adalah perwujudan dari amanat Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indoonesia 1945 yang menginginkan kekuasaan eksekutif tidak disalahgunakan untuk kepentingan yang menguntungkan kelompok organisasi tertentu, melainkan harus melibatkan komponen rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang ditentukan melalui pelaksanaan pesta demokrasi setiap lima tahun. Tetapi apapun wujud landasan hukum pelaksanaan pemilu, yang terpenting adalah eksekusinya dilapangan.

Untuk itulah slogan jujur dan adil dalam pelaksanaan pemilu harus secara sungguh-sungguh menjadi pegangan bagi lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama-sama dengan  Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memastikan pelaksanaan tanggung jawab tugas-tugasnya mengawal pemilu disemua strata, pusat maupun daerah dilakukan secara profesional, transparan dan akuntabel.

Hari-hari sekarang ini ketika kondisi perekonomian nasional baru berangsur pulih pascapandemi, meskipun harga-harga kebutuhan pokok rakyat sehari-hari terus naik ditambah krisis ekonomi global akibat perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung, para elit politik justru semakin keras menabuh genderang perang untuk berkontestasi dalam pesta demokarsi 2024. Seperti perhelatan lomba olahraga, muncul kesan kontestan mencuri start (mulai bergerak sebelum saatnya).

Tetapi sebaliknya ada juga komentar kalangan elite politik yang menyatakan bahwa pemilu 2024 masih jauh sehingga tidak perlu grasa-grusu (tergesa-gesa) berbicara soal figur calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres), tetapi sebaiknya lebih fokus untuk turut mengambil peran dalam menghadapi masalah yang dirasakan oleh rakyat saat ini.

Baca juga:  Bimbel "Online," Alternatif Media Literasi

Politik adalah taktik berupa cara atau strategi untuk mencapai tujuan utama yakni meraih kekuasaan dalam skala besar, sedang, maupun kecil. Tetapi dalam perspektif untuk tujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat, politik harus dijalankan dengan niat bersih, jujur dan bertanggung jawab.

Rakyat harus diposisikan sebagai subjek dan bukan objek dalam  berkontestasi untuk mencapai tujuan. Sehingga output (hasil dari proses) politik akan bermanfaat dan dirasakan oleh rakyat  sebagai sebuah pesta untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sehari-hari. Bukan sebaliknya pemilu atau pesta demokrasi justru mengorbankan eksistensi rakyat dan menimbulkan kegaduhan serta perpecahan sesama anak bangsa.

Pemilu harus disambut dengan rasa gembira tanpa ketakutan. Dalam proses menuju hari pemungutan suara, sangat diperlukan sikap dewasa seluruh elemen bangsa  dalam semua strata. Kedewasaan dalam menghormati aturan perundang-undangan tentang pelaksanaan pemilu sebagai sebuah landasan hukum merupakan keniscayaan guna tetap memelihara stabilitas politik dan keamanan diwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial-Politik, tinggal di Legian, Kuta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *