Oleh Kadek Suartaya
Belakangan ketika pandemi melandai, jagat pelancongan Bali tampak menggeliat, melipur hati, membangkitkan asa. Seni wisata Bali pun mulai berona ceria, kendatipun belum bergirang sumeringah. Pentas Cak turistik, misalnya, yang dua tahun tiarap senyap, di sejumlah panggung mulai unjuk kecipak.
Salah satunya adalah terlihat di tujuan kunjungan yang banyak diminati wisatawan yaitu Garuda Wisnu Kencana (Garuda Wisnu Kencana Bali Park) Nusa Dua, Badung. Menariknya, menandai optimisme akan segera pulihnya pariwisata dunia, di arena pentas utama GWK dihadirkan garapan Cak olahan baru. Cak dengan cerita Ramayana yang lazim disajikan sebagai tontonan wisata, diselingi dengan pertunjukan Cak yang disangga konsep artistik baru, bertajuk “Garuda Mahawira”.
Sejak pentas perdana pada pertengahan Mei lalu, sajian seni pentas yang dihadirkan di ruang terbuka pada sore jelang malam itu, banyak disimak para pelancong. Cak baru yang secara bergantian dipentaskan oleh tiga sekaa yang berasal dari sekitar Nusa Dua ini menggunakan kiat atau dilandasi tata penggarapan seni wisata (art of acculturation) yaitu perpaduan selera seniman kreator dan penonton pelancong. Keunikan paduan suara cak dieksplorasi estetikanya sebagai sebuah identitas khas seni tradisional Bali warisan zaman pra-sejarah. Aspek atraktif, padat-singkat, menarik, menghibur, dan spektakuler diramu mewarni alur kreasi pertunjukan yang bermuatan pesan moral positif-konstruktif-optimistik. Ogoh-ogoh Garuda setinggi lima meter dan dua ogoh-ogoh Naga besar sepanjang 10 meter melengkapi karya seni ini.
Cak “Garuda Mahawira” dengan greget aspek estetiknya tersebut juga sarat dengan muatan pesan moral kebangsaan. Alkisah, Garuda adalah manusia bersayap yang berkepala burung. Mahluk mitologi ini diusung sebagai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kisah Garuda dituturkan pada episode awal, Adi Parwa, dari epos agung Mahabharata. Setelah melewati perjuangan maha bahaya, Garuda dianugrahkan tirta amerta (air kehidupan abadi) oleh para dewa untuk menolong ibunya, Dewi Winata, dari derita keji kemanusiaan. Ditunggangi Dewa Wisnu, Garuda melanglang jagat menegakkan kebenaran dan mengawal kehidupan kerta raharja gemah ripah lohjinawi. Garuda Wisnu mengayomi bumi, menyemai zaman keemasan peradaban.
Cak adalah seni pertunjukan turistik Bali yang berawal pada tahun 1930-an. Tersebut I Wayan Limbak, seorang penari Baris di Desa Bedulu, Gianyar, bersahabat dengan Walter Spies, pelukis Jerman yang bermukim di Ubud. Spies sering mengaksikan aktivitas seni dalam ritual keagamaan di Bedulu di mana Limbak terlibat di dalamnya. Sebagai pegiat seni dalam ritual tolak bala tari Sanghyang Dedari, aksi Limbak saat mengumandangkan jalinan koor cak pengiring tari itu menarik perhatian Spies yang juga seorang pemain piano andal. Atas saran Spies, Limbak bersama kawan-kawannya menjadikan iringan perpaduan vokal itu menjadi seni pentas tersendiri. Garapan seni pentas Cak itu sering ditunjukkan oleh Spies kepada temannya, orang-orang asing yang mengunjungi Bali.
Menguak di Bedulu, Cak sebagai perintis seni wisata selanjutnya berkembang di Bona, Blahbatuh. Jika Cak rintisan Limbak mengangkat lakon “Karebut Kumbakarna”, Cak Bona bertutur tentang kisah cinta Rama dan Sita. Format Cak Bona ini kemudian dijadikan model oleh grup-grup Cak lainnya yang tampil dihadapan wisatawan. Berpentas dengan format atau lakon yang sama sejak tahun 1970-an menggiring kesalahkaprahan penamaan seni pentas ini di kalangan pegiat kepariwisataan dengan sebutan monkey dance, mungkin asosiasi dari gerak-gerik puluhun pemainnya bak jingkrak kera, selain karena memang ada tampilan tokoh-tokoh kera seperti Anoman, Anggada, Subali, Sugriwa dalan lain-lainnya yang heroik menyokong Rama menumpas keangkaramurkaan Rahwana.
Dharma versus adharma yang dimenangkan penegak kebenaran adalah pesan moral klasik yang dianut dalam seni pertunjukan Bali. Tengoklah, dari dramatari tua Gambuh hingga teater rakyat Drama Gong senantiasa mengeksplorasi realita rwabhineda ini. Kesenian, seni pertunjukan Bali, menumpahkan kasih edukatif kepada masyarakat penonton. Puspa ragam teater Bali berbinar sebagai tontonan yang mengasah rasa dan nurani dan selain juga mengkomunikasikan tuntunan saripati kehidupan yang membeningkan budi keadaban. Karena itu, seni wisata pun yang kesejatian eksistensinya ditunjang dengan kesadaran sajian komersial nan enteng, menghibur, gurih, dan murah, tak “tabu” menyemburkan pesan moral dari yang bernuansa universal hingga yang menukik spesifik. Cak “Garuda Mahawira” memancarkan kontekstualisasi gelora kebangsaan cinta tanah air Indonesia.
Pementasan Cak “Garuda Mahawira” di GWK mengundang keterpesonaan wisatawan. Pelancong Nusantara yang mendominasi, menunjukkan rona antusias menyimak pagelarannya. Mereka yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia itu berasal dari latar belakang keragaman budaya, suku, ras, agama, pekerjaan, bahkan orientasi partai politik. Tetapi kemasan artistik apik dari “Garuda Mahawira” menyatukan, membuai sanubari damai mereka. Pesan moral seni wisata ini seakan kian merekat kebhinekaan mereka.
Polarisasi dan ancaman keterbelahan yang sering menyeringai dalam dialektika bermasyarakat dan berbangsa, luruh. Penonton menyimak empatik aliran narasi verbal dari kalimat deklamatis pada aksentuasi adegannya. Misalnya, ketika Dewa Wisnu meminta Garuda sebagai wahananya. “Wahai Garuda yang gagah perkasa, bersiaplah menjadi wahanaku menumpas bebatilan dan menyemai ketenteraman dunia. Bersiaplah turun menuju kepulauan khatulistiwa menyokong insan-insan pejuang kebenaran. Mari kawal kerukunan rakyatnya mereguk kehidupan yang aman sentosa, bermandi embun sorga, merengkuh kemajuan demi kesemerbakan martabat bangsanya”.
Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar