Oleh Nurrachman Oerip
Bangsa Indonesia pada tanggal 14 Februari 2024, Valentine Day, akan menyelenggarakan Pemilhan Umum (Pemilu) untuk memilih para penyelenggara negara dan pemerintahan berkualitas. Namun harapan itu kiranya sukar dicapai jika proses prosedural dan praksis rekrutmen para kontestan dalam Pemilu 2024 oleh Partai Politik (Parpol) masih mengutamakan aspek elektabilitas (popularitas) dan bukan berdasarkan kompetensi dan rekam jejak prestasi maupun reputasi kontestan di masa lalu; dan oleh sebab itu mantan terpidana korupsi perlu dilarang secara tegas ikut berkontestasi pada Pemilu 2024.
Perubahan pendekatan mentalitas dari sistem medioker menjadi sistem merit (kapasitas kinerja) amat mendesak. Secara umum, pasca Pemilu aspirasi para pemilik suara (konstituen) kurang diperhatikan dan cenderung terabaikan.
Konstituen dalam Pemilu kiranya dapat disebut cuma menjadi objek kepentingan Parpol dalam berebut kekuasaan dan rezeki. Suara kepentingan para konstituen Pemilu ibarat The Voice of The Voiceless, suatu kondisi ironis karena bertentangan dengan semangat substantif penyelenggaraan tata kelola negara dan pemerintahan berslogan demokrasi, yakni prinsip Dari-Oleh-Untuk Rakyat.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, hasil empat kali amandemen UUD 1945, yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002, menyatakan: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat 2). Rumusan “dilaksanakan menurut UUD” itu tidak menunjuk siapa/lembaga/bagaimana pelaksananya; tetapi dengan mencermati secara seksama imbas makna substantif rumusan isi ayat 3 Pasal 1, yaitu: Negara Indonesia adalah negara hukum berakibat terjadi pergeseran makna dari Rule of Law menjadi Rule by Law melalui pembuatan Legislasi oleh DPR cq Parpol dan Presiden. Patut dicatat bahwa ayat 3 tersebut merupakan ayat tambahan hasil amandemen terhadap ayat 2 Pasal 1 UUD 1945, yang menyatakan Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dengan demikian akibat amandemen pada ayat 2 Pasal 1 UUD 1945 maka kedaulatan hanya dimiliki rakyat selama berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Setelah mereka mencoblos kertas suara dan memasukkannya ke dalam kotak suara serta meninggalkan TPS maka kedaulatan yang semula dipegang rakyat sudah berpindah tangan sepenuhnya ke dalam genggaman kekuasaan Parpol.
Patut digaris bawahi, biaya politik yang amat mahal untuk merebut dukungan suara sebanyak-banyaknya dari para kostituen Pemilu ditengarai mengakibatkan terjadinya kebiasaan transaksional kepentingan timbal balik antara kontestan Pemilu dan para pemodal politik. Konsekuensi logisnya, kontestan wajib mengembalikan modal pinjamannya, dan jika berhasil terpilih harus memenuhi pula berbagai kepentingan politik pemodalnya.
Itulah antara lain asal muasal masalah korupsi sebagai sumber penyakit sosial bersifat pandemik yang hingga saat ini belum berhasil diatasi secara tuntas paripurna. Oleh sebab itu korupsi sebagai pemicu dan pemacu hambatan dan gangguan pada upaya dan kegiatan pemajuan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia wajib ditemukan solusinya, dalam konteks penyelenggaraan Pemilu 2024 selain tindak penegakan hukum.
Metode tepat guna yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) serta perlunya mengedepankan dialog dan komunikasi sosial adalah opsi utamanya untuk mencapai titik temu, titik tumpu dan titik tuju agar Pemilu 2024 menghasilkan sistem dan aparatur bagi penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang berkualitas. Sebagai kondisi prasyarat (conditio sine qua non), mutlak diperlukan aktualisasi etika politik bernegara yang beradab berupa spirit dan komitmen pada integritas, kejujuran dan tanggung jawab sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan warga negara Indonesia yang baik.
Etika politik bernegara adalah persyaratan yang perlu diajukan para konstituen Pemilu 2024 kepada semua kontestan setiap Parpol. Peran dan dukungan berbagai komunitas berakal sehat terhadap gagasan urgensi etika politik bernegara itu bersifat determinan sebagai pintu masuk solusi masalah pandemik korupsi yang mendera bangsa Indonesia.
Para konstituen perlu mendesak kontestan Pemilu 2024 menerapkan etika politik bernegara yang beradab sejak awal dengan bersedia menggunakan tagline “Jika Saya Korupsi. Tidak Selamat”. Tagline itu wajib diucapkan pada kampanye dan ditulis pula pada baliho promosi diri kontestan. Penolakan pada persyaratan yang diajukan konstituen Pemilu 2024 merupakan reaksi yang bisa diduga karena hal itu akan mengganggu status quo kekuasaan Parpol.
Tanggapan negatif secara eksplisit maupun tersirat dapat menunjukkan validitas sikap para konstitutuen Pemilu 2024 yang selama ini pasca Pemilu hanyalah The Voice of The Voiceless, kendati mereka adalah pemegang kedaulatan rakyat. Sejatinya, itulah soft power konstituen Pemilu 2024 sehingga perlu ditumbuh kembangkan dan dimantapkan eksekusinya oleh segenap elemen komunitas bangsa Indonesia menjadi kekuatan daya tawar politik (political leverage power) konstituen Pemilu 2024 untuk mengatasi dominasi Parpol, secara elegan.
Kriteria tujuan tagline itu, ialah: bermanfaat, bisa dilaksanakan dan tidak melanggar hukum. Pemberantasan kejahatan korupsi perlu dimulai dari penyelenggaraan Pemilu 2024 untuk memilih para kader dan pemimpin penyelenggara negara dan pemerintahan Indonesia yang mau dan mampu memiliki etika bernegara yang beradab, sebagai langkah awal dan bertujuan memulihkan kedaulatan kembali berada di tangan rakyat.
Penulis, Pemerhati Masalah Budaya, Sosial dan Politik Kebangsaan, Duta Besar RI untuk Kerajaan Kamboja (tahun 2004 – 2007) dan pendiri Pusat Budaya Indonesia (PUSBUDI) di KBRI Phnom Penh, Kerajaan Kamboja, pada tahun 2007.