Oleh I Gusti Ketut Widana
“Tokoh Agama Ditemukan Gantung Diri”, begitu berita Bali Post (Senin, 25/7). Beberapa waktu lalu seorang profesor juga dikabarkan melakukan hal sama
– bunuh diri.
Belum lagi dari kalangan masyarakat kebanyakan. Bunuh diri yang disebut juga ulah pati sepertinya
menjadi berita rutin di media perkabaran. Hampir setiap hari ada saja informasi perihal kasus bunuh diri di Bali yang dilakukan berbagai kalangan, tidak pandang usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, status sosial ekonomi, profesi, dll.
Catatan dua puluh tahun terakhir, menunjukkan angka kematian akibat bunuh diri di Provinsi Bali, mengalami
peningkatan signifikan. Mengutip data Suryani Institute For Mental Health (11 Desember 2020), tercatat jumlah total angka bunuh diri di Bali, dari tahun 2000-2020 mencapai 2.292 kasus.
Belum lagi menyangkut gangguan jiwa yang menurut data Riskesdas Tahun 2013, Bali masuk dalam peringkat tiga setelah DI Yogyakarta, dan Aceh dengan gangguan kejiwaan berat di Indonesia. Ketua Bagian SMF Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. A.A. Sri Wahyuni, Sp.KJ, mengatakan, tren sakit jiwa terus meningkat, antara lain karena kesulitan dalam kehidupan, berkurangnya lahan pekerjaan, bertambahnya jumlah penduduk dan usia harapan hidup, dimana manula lebih banyak.
Setiap orang pun berpotensi mengalami gangguan jiwa, walau mungkin belum termasuk kategori berat. Gangguan atau sakit jiwa ini menjadi salah satu
penyebab meningkatnya angka kasus bunuh diri di Bali.
Menyangkut data kasus bunuh diri dan angka gangguan jiwa di atas, meski tidak sepenuhnya berkorelasi, setidaknya merepresentasikan bahwa sebenarnya masyarakat Bali sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, bahkan tak keliru dikatakan sedang sakit. Bisa sakit sakala, antara lain menderita penyakit tak kunjung sembuh, akibat berbagai tekanan (ekonomi, beban sosial-adat-ritual, persaingan hidup), gangguan psikis (frustasi, depresi, sakit mental atau
gangguan kejiwaan), dan bisa juga sakit niskala,
berhubungan dengan hal-hal gaib (magik, mistik
atau klenik).
Pertanyaan mendasar, benarkah orang/masyarakat Bali (Hindu) yang notabene sangat sosialistis religius dengan kekentalan aktivitas ritual bhaktinya kepada Hyang Widhi begitu fatalistis, cepat pasrah lalu menyerah pada keadaan, hingga dengan mudah mengambil jalan pintas bunuh diri?
Merebaknya fenomena bunuh diri di kalangan masyarakat Bali (Hindu), sepertinya menisbikan arti rutinitas dan intensitas ritual bhakti (yadnya). Setidaknya belum menjamin terbangunnya kekuatan sraddha (iman) yang tercermin dari kerapuhan mental-spiritual akibat terus digoyang dan digoyahkan hasrat
material-finansial-kapital yang pada zaman kali yuga ini memang menjadi modal andalan pemenuhan kebutuhan hidup duniawi.
Konsekuensinya, kata Piliang (2005) terjadilah apa yang disebut sebagai pemanjaan hasrat bukan lagi penyucian jiwa (spirit), lantaran bercampurbaurnya bhakti ritualistik simbolik dengan hedoni materalistik konsumeristik, yang semakin menjauhkan umat dari obsesi kontemplatif guna mencapai kesadaran spiritualistik.
Konsekuensinya, capaian kemajuan material finansial yang kadang berlebih, ditopang kecerdasan intelektual plus teknologi canggih, namun tanpa ditopang kekuatan iman (sradha-bhakti) membuat kondisi mental-spiritual umat justru bertambah ganjih (labil). Tak ubahnya seperti menapaki titi ugal-agil.
Masyarakat Bali (Hindu) tak sedikit mengalami gangguan mental/kejiwaan, dari kategori ringan hingga berat (schizophrenia), lalu dengan mudah mengambil jalan bunuh diri. Tanpa rasa takut (dosa), dengan menganggap sebagai solusi mengatasi kebuntuan jalan pikiran, kegelapan hati dan kesesatan nurani, akhirnya bunuh diri menjadi opsi final, meski tergolong cara sesat sekaligus menyesatkan.
Sejatinya, ajaran Hindu mengamanatkan, dalam menghadapi masalah apapun yang dialami, plus beratnya cobaan serta ujian hidup, hendaknya menyerahkan segala permohonan (kesehatan, kesejahteraan, keselamatan, kebahagiaan) kepada Hyang Widhi dan juga Ida Bhatara-Bhatari selaku pelindung umat. Betapapun keadaan (nasib) kehidupan seseorang tidak lepas dari pituduh hukum Rta, dalam hal ini sradha karmaphala yang senantiasa membawa akibat dari suatu sebab.
Bahwa hidup dan kehidupan ini digerakkan oleh karma, dengan segala phahala yang didapat dan dinikmati atau dirasakan, Jika karena sesuatu hal, apa yang dirasakan kurang menyenangkan atau tidak
membahagiakan,sehingga menimbulkan rasa marah, kecewa, sakit hati, putus asa, depresi lalu frustasi, hendaknya tetap dalam kendali, tidak sampai terkena gangguan, apalagi sampai sakit jiwa, lalu serta merta bunuh diri.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar