John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah merekomendasikan pembelajaran tatap muka mulai pada Januari 2021, seiring dengan dimulainya vaksin Covid-19 pada akhir November atau awal Desember 2020. Meskipun jumlah korban kasus Covid-19 masih ada dan mengawatirkan, banyak sekolah mempertahankan proses belajar tatap muka, seolah isu pandemi covid tak lagi segawat pada awal kemunculannya.

Orangtua dan sekolah, sama-sama tak bisa membayangkan bagaimana dampak buruk yang bakal terjadi bila sekolah tetap ditutup dan kelas-kelas konvensional belum bisa dilaksanakan. Bagaimana menyikapi kecemasan ini?

Penerapan program belajar dari rumah selama ini, bukan tanpa persoalan. Hasil survei Save
the Children di Indonesia, menunjukkan, belajar daring berpotensi meningkatkan stres keluarga. Ini akibat kesulitan ekonomi, ketidakmampuan pedagogis mendampingi anak, dan kurangnya sarana penunjang belajar digital, ditambah maraknya berbagai berita negatif yang mengecilkan hati.

Semua itu berdampak merusak kondisi mental dan kesehatan psikososial anak. Dalam buku terbitan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementrian PPPA) berjudul Panduan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dalam Pandemi Covid-19, disebutkan beberapa potensi negatif pandemi, yakni anak tak mendapatkan pengasuhan orangtua, anak mengalami stigma sosial, anak-anak mengalami kesepian karena jauh dari teman-teman sekolah, bahkan ada yang mengalami diskriminasi karena anggota keluarga terinfeksi virus korona.

Baca juga:  Gotong Royong di Tengah Pandemi, Gerakan Bersama Bantu Warga Terdampak

Maka, belajar di rumah ternyata bukan saja tidak ideal, tapi juga dapat merusak potensi
belajar. Belum lagi, guru-guru yang masih harus beradaptasi untuk menyelenggarakan pembelajaran daring. Perguruan Tinggi dan sekolah-sekolah wajib mengikuti aturan yang
sangat mengandalkan internet dan perangkat komunikasi dan informasi lainnya. Oleh karena
itu, pemahaman pembelajaran berbasis internet harus dimiliki para guru dan dosen. Sejauh
ini sekitar 71 persen guru yang baru pada tahap awal mengenal sistem pembelajaran daring sehingga kemampuan mereka dalam mentransfer pengetahuan sangat terbatas.

Sementara siswa di Indonesia belum mampu atau belum pernah mengalami belajar mandiri.
Belajar mandiri belum menjadi norma (Iwan Pranoto, 2020). Buku ajar yang menjadi panduan, belum mendukung model swa-ajar siswa.

Baca juga:  Mulai 1 Maret, PPLN Sudah "Booster" Bisa Karantina 3 Hari

Keterampilan Guru 

Selama kebijakan belajar dari rumah masih diterapkan, maka keterlibatan orangtua tetap diharapkan. Secara fisik, hanya orangtua yang paling sering berinteraksi dengan anakanak. Sangat mungkin ke depannya akan disusun kurikulum peralihan yang melibatkan
peran orangtua dalam pembelajaran.

Teknologi akan membentuk kompetensi algoritma siswa dengan mengandalkan logika
dan pengelolaan data. Namun bagaimanapun, perkara budi pekerti (soft skill) dan berbagai
kualitas yang membentuk perilaku siswa seperti: disiplin diri, keuletan, kejujuran, keberanian, hasrat untuk terus bereksplorasi, yakni hal-hal yang menjadi hakikat pendidikan, tak
mungkin terbentuk dengan mengandalkan sistem pembelajaran jarak jauh.

Lantas apa keterampilan yang perlu dimiliki para guru? Kepala pusat Literasi Media AS, Tesa Jools merekomendasikan bagi para pelajar, hal yang dimaknainya sebagai keterampilan berproses (process skills) yakni, perolehan pengetahuan, keterampilan memecahkan masalah (problem solving) dan kewarganegaraan (civic). Karena itu, keterampilan abad 21 yang disingkat 4C yakni: communication, collaboration, critical thinking, creativitity harus dilengkapi dengan pendidikan kewarganegaraan dan berbagai keterampilan mengendalikan
dan mengarahkan diri, mengingat pelajar adalah bagian dari warga global dengan sejumlah aturan dan regulasi.

Baca juga:  WNA Masuk Bali Selama 2020, Deportasi dan Perpanjangan ITK di Tengah Pandemi COVID-19

Tantangan teknisnya adalah mengumpulkan para digital talent kita, bersama para ahli pendidikan, praktisi dan pembuat kebijakan untuk bersama-sama memikirkan dan merumuskan model pendidikan berbasis teknologi yang praktis dan mumpuni sesuai dengan konteks budaya Indonesia sehingga pendidikan karakter dapat dipateri ke dalam hati sanubari pada peserta didik kita. Inovasi dengan penggunaan teknologi kreatif yang berkelanjutan manjadi bagian dari pedagogi, dan pengembangan kepribadian siswa, seyogianya menjadi prasyarat bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengambil langkah raksasa dalam rangka mengubah ekosistem pendidikan Indonesia pasca pandemi.

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogayakarta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *