Oleh Agung Kresna
Keputusan Pemerintah mengeluarkan Bandara Bali Utara dari Proyek Strategis Nasional (PSN) bisa jadi merupakan blessing in disguise (berkah terselubung) bagi Bali. Rencana pembangunan Bandara Bali Utara yang dari awal sudah dipenuhi tarik ulur itu, tidak ada salahnya jika dilakukan kajian ulang.
Kehadiran jalan-jalan baru dengan model shortcut (sebagai upaya mengurangi tikungan jalan guna memperlancar arus lalulintas) yang menghubungkan kawasan Bali Selatan dengan Bali Utara, sebenarnya sudah cukup efektif dalam mengurangi waktu tempuh mobilitas dari Bali Utara ke wilayah Bali Selatan.
Bali Utara selama ini dianggap kurang berkembang industri pariwisatanya karena hambatan aksesibilitas dari Bali Selatan. Hal ini mengingat Bali Selatan dianggap sebagai pintu masuk wisatawan ke Pulau Bali utamanya melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai, pelabuhan laut Benoa, maupun dari pelabuhan laut Padangbai.
Padahal industri pariwisata Bali justru diawali dari masuknya wisatawan mancanegara pada 1924 melalui Pelabuhan Buleleng. Dari sinilah para wisatawan melakukan perjalanan ke seluruh pelosok Bali, Wisatawan secara khusus datang ke Bali menggunakan pelayaran Bali Express rute Singapura, Batavia, Semarang, Surabaya, Singaraja, kemudian ke Makassar.
Barangkali konsep One Island One Management sebagai ruh/benang merah Pembangunan Bali yang bervisi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru, perlu dijabarkan dalam wujud teknis yang lebih jelas. Diperlukan Roadmap rinci, apa yang harus diperankan oleh setiap Kabupaten/Kota di Bali.
Kendala Otonomi Daerah menjadi tantangan tidak ringan sejak digulirkan tahun 2004. Secara signifikan paradigma pengelolaan pembangunan berubah. Otonomi daerah Indonesia diletakkan di Kabupaten/Kota. Kewenangan politik pembangunan tanggung jawab Kabupaten/ Kota. Pemerintah Provinsi menjadi penghubung Pemerintah Pusat dengan Kabupaten/Kota.
Namun jika segenap stakeholders dalam pembangunan Bali sudah sepakat dengan konsep One Island One Management, maka setiap wilayah Kabupaten/Kota harus memainkan peran ekonomi masing-masing yang spesifik. Tanpa adanya tumpang tindih peran antar Kabupaten/Kota. Semua harus dalam satu kesatuan langkah yang sinergis.
Dahulu, pada saat semua distribusi barang dari dan keluar Bali melalui pelabuhan Singaraja, sebagian besar hasil ternak dan hasil bumi dari Bali yang diekspor ke Malaka dan Hongkong melalui pelabuhan ini. Kawasan Bali utara saat itu menjadi wilayah yang banyak memiliki kawasan perkebunan, dimana jejak kejayaannya masih dapat kita jumpai saat ini.
Akselerasi pertumbuhan ekonomi di seluruh kawasan Bali menjadi kunci utama menuju pemerataan kesejahteraan krama Bali. Jika tingkat kesejahteraan masyarakat kawasan Bali Utara sudah terwujud, maka akan menjadi lebih mudah untuk meningkatkan kesejahteraan di kawasan Bali barat dan Bali Timur mengingat keterhubungannya dengan Bali Utara.
Pemerataan dan keseimbangan kesejahteraan krama Bali di seluruh wilayah Pulau Bali harus dicapai bukan dengan melakukan bagi hasil atas limpahan dolar yang saat ini sedang dinikmati kawasan Bali selatan melalui industri pariwisata. Namun dengan melakukan pemerataan aksesibilitas, konektivitas dan infrastruktur di seluruh wilayah Bali.
Ada baiknya kita simak pendapat Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas periode 2016-2019, tentang kesalahan pembangunan ekonomi Bali selama ini. Semua kebijakan pembangunan Bali terlalu digantungkan pada sektor pariwisata, bak “menaruh telur dalam satu keranjang”. Sehingga ketika keranjang terhempas, maka seluruh sistem perkonomian Bali luluh lantak.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar