Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Setiap manusia tak dapat dipungkiri menginginkan hidup yang sejahtera. Keoptimisan untuk sejahtera dalam konteks sekarang tentu memerlukan suatu bentuk pengorbanan yang lebih. Artinya lebih di sini adalah memerlukan bentuk pengorbanan yang memerlukan cara dan konsep tersendiri. Artinya tersendiri adalah kekuatan yang diperlukan menjadi lebih kompleks mengingat keoptimisan itu mesti diterjemahkan ke dalam konstelasi optimis. Ini berarti tidak cukup hanya kata benda melainkan kata kerja yang mendukung arah terjadinya sejahtera. Oleh karena itu optimis diterjemahkan lebih dalam lagi dengan sikap. Inilah yang menandakan bahwa ada suatu sistem yang mendukung terjadinya sikap tersebut.

Ketika para ilmuwan ekonomi sudah mampu untuk memprediksi terjadinya suatu tingkat kesejahteraan tertentu maka yang diperlukan lebih lanjut adalah menunjukkan bagaimana kesejahteraan itu dapat terjadi. Ini berarti kesejahteraan dapat dimanfaatkan sebagai bentuk kenyataan yang akan terjadi. Kemenangan untuk menjadi sejahtera tidak dapat dilakukan secara sepihak saja yang artinya tidak dapat sepenuhnya bergantung kepada pemerintah pun juga tidak dapat dibiarkan hanya kepada rakyat. Pada dasarnya ketika kesejahteraan sudah dimengerti maka rakyat pasti akan bergerak dengan sendirinya. Inilah sebagai bentuk nyata dari peran serta rakyat dengan diberikan kesempatan yang luas dan lebar untuk berusaha.

Baca juga:  Pengaruh Indonesia dalam G20

Akan tetapi tidak semua rakyat mesti menjadi sadar tentang makna kesejahteraan itu. Inilah menjadi peran pemerintah dalam suatu negara untuk menjadikan rakyatnya mengerti akan kesejahteraan. Oleh karenanya langkah penting dan perlu dilakukan antara lain pertama, menjadikan peran pemerintah dapat langsung bergerak ke sektor riil yaitu sektor yang bersentuhan langsung dengan transaksi yang terjadi dalam masyarakat ataupun rakyat sehingga terpacunya pergerakan ekonomi akan menggulirkan perputaran ekonomi itu. Kedua, menjadikan peran pemerintah tidak terlepas dari penggunaan teknologi yang semakin modern dan canggih ini sudah ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia misalnya dengan penggalakan teknologi digital dalam segala lini namun masih memerlukan perhatian atas catatan penting berikut yaitu mengikutsertakan peran rakyat dalam berteknologi digital secara manusiawi.

Teknologi digital mesti dijadikan sebagai salah satu barometer penting dalam mengusahakan kesejahteraan model yang lebih baru daripada sebelumnya sehingga menjadikan masyarakat tercerahkan dengan adanya teknologi digital tersebut bukan sebaliknya. Ini mesti dilakukan secara sistematis metodis serta yang paling penting adalah pemerataan yang berkualitas sehingga menjadikan rakyat dan pemerintah adalah partner satu sama lain dalam berdigital ini. Kemudian pengikutsertaan swasta semestinya tidak menjadikan sebagai lumbung dalam semata-mata mencari keuntungan melainkan menunjukkan peran masing-masing dalam menentukan arah kesejahteraan baru ini. Perlunya swasta sudah pasti tak diragukan namun perlunya pemerintah lebih pasti lagi dalam memberikan payung hukum terhadap perlindungan masyarakat (rakyat).

Baca juga:  Menlu Retno : G20 Harus Jadi Solusi Tantangan Global

Dengan ini semakin tampak jelas bahwa teknologi digital berupa apapun bentuknya sekarang adalah sebagai bukan saja trend melainkan sebuah keharusan logis. Ini tentu mestinya disertai dengan kemampuan masyarakat yang semakin berkualitas peningkatannya dalam menuju kepada pembentukan kesejahteraan model baru ini. Sudah pasti peran masing-masing dari media, lembaga keuangan pemerintah dan swasta perlu memberikan pencerahan ekonomi yang lebih berdaya guna untuk meningkatkan kapasitas ekonomi masing-masing seiring dengan kemajuan teknologi digital tersebut. Sudah barang tentu ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa aksi.

Karena jika tidak maka yang terjadi adalah keterlambatan yang berujung pada penyesalan meskipun ada pepatah yang mengatakan lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali bahwa kita perlu teringat dengan teknologi otomotif yang sudah sekian tahun berada di Indonesia namun Indonesia tak pernah sukses dengan merek sendiri. Semuanya serba berketergantungan bukan saling berketergantungan dengan merek luar. Itulah bedanya jika berketergantungan tidak ada semangat gotong royong sedangkan sebaliknya saling berketergantungan itu masih diliputi oleh semangat saling memberikan kemajuan yang berarti.

Baca juga:  Peran Guru dalam Pendidikan Kejujuran

Terlepas dari itu semua maka G20 yang diselenggarakan di Bali sebaiknya juga mengagendakan semangat gotong royong yang lebih konstruktif dalam membangun kerjasama. Seterusnya dapat dianalisis bahwa segenap keadaan yang terjadi dapat diliputi suasana optimis untuk sejahtera apabila dimulai dengan kegotongroyongan itu. Namun perlu dicatat bahwa kegotongroyongan dalam G20 sudah pasti perlu direformulasikan ke dalam tiga kategori utama yaitu satu, tidak menjadikan Indonesia sebagai contoh negara berketergantungan tinggi melainkan negara yang menunjukkan komitmen tinggi untuk selalu bekerja sama secara konstruktif dengan berbagai negara di dunia terutama dalam konstelasi G20 saat sekarang ini. Dua, tidak menjadikan G20 sebagai satu-satunya harapan penting dengan mengabaikan negara lain yang potensial untuk menjadikan negara Indonesia sebagai sahabat dalam bekerja sama. Tiga, bersama dengan G20 bergotong royong untuk menyelamatkan seluruh dunia dari keterpurukan ekonomi karena Covid-19.

Penulis dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *