I Gst. Ag. Kt. Sudaratmaja. (BP/Istimewa)

Oleh I Gst. Ag. Kt. Sudaratmaja

Perayaan Tumpek saat sekarang ini semakin semarak, sejak keluarnya Surat Edaran Gubernur Bali Nomor: 4 Tahun 2022 tentang Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru. Dimana dalam setiap perayaan
tumpek disesuaikan dengan esensi dari Sad Kerthi itu sendiri yang meliputi: Wana Kerthi, Danu Kerthi, Segara Kerthi, Jana Kerhi, Atma Kerthi dan Jagat Kerthi.

Untuk Tumpek Uye atau Tumpek Kandang karena berkaitan dengan penghormatan kepada binatang ternak (termasuk ikan) maka dikelompokkan dalam Danu/Segara Kerthi. Di antara kelompok binatang ternak tersebut, sapi termasuk yang cukup istimewa dalam budaya pertanian khususnya di Bali.

Bagian dari pertanian terintegrasi? Ada petuah lama dari tetua kita dulu yang menyebutkan sebagai berikut: ‘’yen cening lakar megae ke carik, ubuhang ibane sampi’’ yang artinya jika kamu bertani di sawah, hendaknya kamu juga memelihara sapi. Petuah ini secara tidak langsung sudah memberi isyarat terhadap sistem pertanian terintegrasi setidaknya untuk padi-sapi.

Seperti diketahui sistem pertanian terintegrasi
(padi-sapi) tersebut sejatinya memiliki beberapa
dimensi, di antaranya: (1) sebagai sumber tenaga kerja dalam pengolahan lahan; (2) sumber pangan pokok; (3) sumber pakan yang berasal dari limbah
tanaman; (4) sumber pupuk kandang dari sapi, baik itu padat (kompos) dan cair (bio-urine); (5) sumber protein dari daging sapi dan (6) sebagai tabungan hidup jika melahirkan pedet.

Baca juga:  Bali Antara Budaya dan Budaya Politik

Model pertanian terintegrasi ini dengan berpaduan yang beragam seperti: padi-sapi, kambing-kopi, jagung-sapi dan sebagainya, dapat dikembangkan sesuai dengan potensi wilayah. Hal inilah yang dulu menginspirasi program Prima Tani oleh BPTP Bali, yang kemudian diadopsi menjadi Program Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi) oleh Pemda Bali di mana penulis ikut membidani kelahirannya.

Prima Tani sebagai program rintisan oleh BPTP Bali, tentu kaya dengan inovasi, karena memang dirancang sebagai model pemasyarakatan inovasi pertanian. Inovasi teknologi yang ada di antaranya : (1) teknologi dekomposer (untuk pembuatan kompos), (2) airasi bio-urine (untuk menghasilkan pupuk cair), (3) teknologi pengolahan limbah tanaman untuk pakan ternak, (4) pengolahan limbah untuk bio-gas dan (5) konstruksi kandang yang sesuai untuk itu. Inovasi
ini sebenarnya sudah ‘’sampai dan diadopsi’’ oleh
petani yang tergabung dalam Program Simantri.

Lebih fokus terhadap ternak sapi, sudah banyak diketahui dia sebagai salah satu ternak yang dimuliakan karena banyak jasanya. Oleh karena itu pada masyarakat Hindu, masih banyak yang pantang untuk memakan dagingnya.

Baca juga:  Bali Masih Andalkan Pariwisata

Dalam konteks sapi sebagai tenaga kerja, di Bali masih ada pantangan yaitu dilarang membajak sawahndengan Sapi pada hari Kamis (wraspati sing dadi matekap). Hal ini harus dimaknai sebagai salah satu bentuk hari libur untuk ternak sapi, terlebih lagi pada saat turun musim sedang mengolah lahan.

Kalau di antara kita sudah lazim mengenal human right atau hak azasi manusia, jadi petani kita sudah sejak dulu paham dengan ‘’hak azasi binatang” atau animal right.

Dalam ajaran Hindu disebutkan kita sebenarnya memiliki tujuh mata atau ibu yang dimuliakan, yang terbagi menjadi 2 (dua) bagian besar yaitu: ibu dalam wujud manusia dan ibu dalam wujud bukan manusia. Ibu dalam wujud manusia tersebut adalah ibu kandung, istri raja, istri brahmana dan perawat, sedangkan yang bukan manusia adalah sapi, tanah dan ilmu pengetahuan.

Lantas kenapa sapi disebut ibu? konon ini erat kaitannya dengan proses penciptaan dunia. Dari
tiga mahluk di muka bumi ini, yang pertama
diciptakan oleh Tuhan adalah tumbuh-tumbuhan
(eka premana = bayu, hanya bisa bertumbuh),
kemudian binatang (dwi premana = bayu dan sabda, bisa bertumbuh dan bersuara/berbunyi) dan selanjutnya manusia (tri premana = bayu, sabda dan idep, mampu bertumbuh, berbicara dan berpikir).

Baca juga:  Asuransi Sapi Belum Berlaku di Badung

Oleh karena itu jika pada perayaan Tumpek Wariga atau Tumpek Pengatag yaitu 25 hari menjelang Galungan, maka sering kita dengar sesapa saat mebanten di suatu pohon/tanaman dengan ucapan ‘’kaki kaki atau dadong dadong’’ ini sebagai pertanda memang tumbuh-tumbuhanlah mahluk tertua. Selanjutnya menyusul sapi disebut atau dimuliakan sebagai ibu.

Untuk diketahui sekarang ini sedang berjangkit Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang ternak sapi kita termasuk di Bali. Ini berarti salah satu ibu kita sedang sakit, yang harus dengan cepat ditangani. Dalam momentum perayaan Tumpek Uye atau Tumpek Kandang ini, mari kita aktualisasikan maknanya tidak hanya sebatas pada upacara atau mabanten saja pada binatang peliharaan khususnya sapi. Kegiatannya dapat diperluas lagi dengan gerakan vaksinasi sapi, sanitasi kandang, pemberian pakan bergizi pada sapi dan upaya lainya, untuk penyelamatan ternak sapi kita.

Penulis, Tim Kelitbangan, Badan Litbang Kabupaten Badung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *