Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Dalam dua bulan terakhir, perhatian dan perasaan publik banyak terlibat secara emosional oleh sebuah kasus yang sangat sensitif yaitu kematian Brigadir J. Seorang ajudan yang meninggal di rumah dinas keluarga jenderal tempat dia ditugaskan.
Dalam rentang waktu tersebut, sudah ditetapkan tersangka yang melakukan penembakan yang menyebabkan kematiannya, meski agak telat. Di awal-awal pemberitaan di TV dan sosmed dijelaskan bahwa yang bersangkutan berujung pada kematian karena baku tembak dengan sesama ajudan.
Namun, kematiannya dicurigai sebagai pembunuhan
berencana, sehingga pihak keluarga sampai meminta otopsi ulang karena ketidakpercayaan terhadap hasil otopsi sebelumnya. Kejadian ini sesungguhnya memberikan pukulan kepada lembaga pemerintah
terutama kepolisian negara, yaitu lembaga formal yang bertugas menegakkan hukum, yang memberikan perlindungan, pelayanan, dan bimbingan kepada masyarakat dalam menyampaikan kebenaran melalui presisi fakta-fakta dan data akurat.
Dalam beberapa pekan ini, tampaknya proses penegakan hukum berjalan lamban, yang sampai-sampai membuat bapak presiden harus 4 kali mengungkapkan kegalauan. Apakah sangat susah
untuk berbicara kejujuran dalam kasus ini, padahal fakta dan data sudah ada?
Entah apa yang menjadi dasar dan latar belakang permasalahan, publik masih sedang terus bertanya-tanya karena motif belum jelas. Namun, yang pasti, menghabisi nyawa orang lain adalah perbuatan yang tidak terpuji dan tidak berperikemanusiaan, apalagi
kalau itu sebagai pembunuhan berencana dan dilakukan oleh oknum penegak hukum.
Teman seprofesi yang menjadi kolega, apalagi korban adalah bawahan, mestinya dibina bila ditengarai melakukan kesalahan. Kesalahan seberat apapun, mesti ada fase-fase penegakan hukuman. Manakala yang bersangkutan sebelumnya dianggap sebagai anak, tentu sebagai orangtua yang bijaksana, sangat berkepentingan membimbing dan mengarahkan anaknya menjadi lebih baik.
Sebuah kasus ironis yang sangat kontroversial. Publik juga masih dibuat penasaran terkait apa kesalahan besar sesungguhnya yang dilakukan ajudan ini, sampai harus mengalami hukuman yang maha berat, yakni kehilangan nyawa yang menyebabkan seorang ibu histeria berkepanjangan dan berujung sakit karena
kehilangan putra tercintanya yang menjadi topangan hidupnya kelak.
Kematian Brigradir J. memberikan pembelajaran bahwa sesungguhnya nilai kejujuran merupakan solusi terhadap permasalahan pelik ini. Seperti yang beberapa kali ditegaskan oleh Presiden Jokowi, semua pihak yang berwenang hendaknya mampu mengungkap kasus ini dengan terbuka, transparan, dan tidak ditutup-tutupi. Artinya bahwa kebenaran harus ditegakkan.
Dalam menegakkan kebenaran tersebut perlu adanya kejujuran untuk mengungkap fakta-fakta dengan
sebenar-benarnya, tidak ada kebohongan, dan tidak ada rekayasa. Kejujuran adalah nilai karakter yang mengacu pada sikap lurus hati, berkata jujur, tidak berbohong, dan menyampaikan kebenaran dengan terbuka.
Nilai ini mesti dibudayakan atau menjadi bagian hidup agar kita menjadi manusia yang kuat iman dan berakhlak mulia baik bagi diri sendiri dan lingkungan. Yang artinya bahwa mereka yang jujur itu memegang teguh kebenaran kata dan perbuatannya, sehingga dapat dipercaya oleh orang banyak.
Kejujuran sebagai sebuah nilai universal dan fondasi kehidupan sedang dipertaruhkan terutama di lembaga yang bertugas menegakkan hukum dengan seadil-adilnya dan tidak pandang bulu. Nama dan citra institusi besar kepolisian sedang diujung tanduk bila kebenaran fakta-fakta dan data tidak diungkap dengan transparan dan presisi.
Para penegak hukum memang sedang mengalami ujian berat untuk melakukan ketegasan dalam penindakan, meski dilakukan oleh oknum kolega yang
berpangkat tinggi. Publik sedang menunggu proses dan hasil penegakan hukum ini.
Semoga ujian berat ini segera berakhir tentu dengan kesuksesan gemilang dalam menguak dan mengungkap tabir misteri menjadi kebenaran yang terang benderang. Dengan demikian, lembaga kepolisian yang mengayomi rakyat dapat mengembalikan citranya sehingga mendapatkan kembali kepercayaan publik.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha