DENPASAR, BALIPOST.com – Inflasi menjadi kata yang menakutkan. Karenanya, pemerintah selalu berusaha mengendalikan. Namun tidak semua pihak dirugikan gara-gara inflasi. Misalnya petani, kenaikan harga produk akan membuat mereka tersenyum karena mendapatkan keuntungan.
Karena masalah musim, produksi cabai dan bawang merah berkurang. Sehingga harganya melonjak. Petani cabai dan bawang merah tentu saja sangat senang, karena mereka menerima harga yang sangat menguntungkan.
Tetapi apa mau di kata, menurut pengamat pertanian,
Prof. Wayan Windia, ternyata pemerintah sangat alergi dengan inflasi. Karena harga cabai dan bawang merah yang naik, maka inflasi juga naik sedikit.
Pemerintah akan segera melakukan operasi pasar. “Tentu saja harga cabai dan bawang merah segera turun. Tetapi nasib petani, bagaimana? Tentu saja pendapatannya menurun dratis. Lalu kapan petani bisa menerima harga yang baik dan menguntungkan mereka?” kata Prof. Windia, yang Ketua Stispol Wira
Bhakti ini.
Menurut catatan dari BI menyebutkan bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) adalah 96 (di bawah 100). “Itu artinya bahwa petani merugi, karena pendapatannya lebih rendah dari pengeluarannya. Kalau mereka rugi, maka kebetulan mereka menerima kompensasi dari
harga cabai. Lalu kenapa pemerintah ujug-ujug melakukan operasi pasar?” ujar Prof. Windia.
Disebutkan bahwa untuk harga cabai dan bawang merah, tidak ada HET (harga eceran tertinggi). Jadi, sebaiknya biar saja harga cabai tinggi, untuk membantu meningkatkan income petani.
Lalu kapan petani bisa agak kaya? Semua ini membuktikan bahwa pemerintah semata-mata hanya membela kepentingan konsumen. Sama sekali tidak ada membela kepentingan produsen (petani). “Petani jangan terus terusan dijadikan bamper inflasi,” kata
Windia.
Kalau begini, tidak ada penduduk yang suka menjadi petani. Karena mereka melihat rugi kalau menjadi petani. Kalau petani tidak suka menjadi petani, maka petani dengan mudah akan menjual sawahnya.
Selanjutnya, subak akan terancam. Bila subak mati, maka kebudayaan Bali akan melemah. “Kita akan
kehilangan salah satu kearifan lokal yang diakui dunia,” katanya. (Nyoman Winata/balipost)