Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Alkisah, Samba ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman mati. Lakon dalam pertunjukan
wayang kulit Jawa ini mengandung pesan moral kontekstual di tengah kehidupan masa kini.

Para dalang menuturkan, Raden Samba yang digadang-gadang menjadi raja untuk menggantikan
ayahnya, Sri Kresna, di Kerajaan Dwarawati, justru mabuk kepayang oleh kecantikan seorang wanita, Dewi Adnyanawati, yang sudah bersuami. Konyolnya, istri saudara tirinya itu, Sitija Bomanarakasura, nekat diselingkuhinya.

Sitija yang sakti tak mengampuni laku tak senonoh
saudaranya yang satu ayah lain ibu itu. Samba dibunuh, tubuhnya di mutilasi. Pegiat wayang kulit Jawa menyebut kisah itu dengan nama tajuk “Samba Sebit” atau “Samba Juwing”.

Lakon ini jarang dipentaskan, dipercaya keramat yang dikhawatirkan akan mengundang petaka memilukan.
Simbolisme jagat pewayangan sarat dengan buih renungan.

Logis bila seni pertunjukan wayang kulit dimaknai sebagai bayang-bayang kehidupan. Saripati kehidupan yang dilukiskan kisah-kisah dalam pementasan wayang bak ensiklopedi pembelajaran yang petuahnya bermuatan kearifan abadi. Seperti halnya kisah Samba—merupakan sebuah lakon anggitan
(gubahan) wayang kulit Jawa—cerita Ramayana
dengan tokoh congkak angkaramurkanya, Rahwana, juga binasa karena birahi liarnya mencuri istri Rama, Dewi Sita.

Baca juga:  Kuningan ”Uning-Eling-Hening”

Selain binasa dan runtuh karena keblinger dengan kecantikan wanita, lakon-lakon wayang dari epos Mahabharata menukik mengetengahkan pesan moral akibat silau akan tahta dan nafsu harta yang mengakibatkan perang saudara Pandawa versus Korawa. Ambisi Duryadana cs (Korawa) merenggut tahta danbserakah akan harta duniawi mengharuskannya meregang nyawa di medan Kuruksetra.

Wanita, tahta dan harta dalam kehidupan nyata adalah salah satu, dua atau ketiganya dituding menjadi penyebab malapetaka yang secara historis telah menelan korban serta banyak menjungkalkan para pemimpin dunia. Wayang kulit Bali juga tak asing dengan kisah Samba tersebut. Tahun 1980-an, era awal penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali (PKB), para mahasiswa dan dosen Akademi Seni Tari (ASTI)—kini Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar—telah
mementaskan kisah putra mahkota Kerajaan
Dwarawati itu.

Melalui bingkai artistik sendratari yang dibawakan ratusan seniman (penari, penabuh, dalang, gerong/sinden), tersuguh dengan judul “Mosala Parwa”. Mosala Parwa adalah episode ke-16 dari 18 parwa (Astadasaparwa) epos Mahabharata.

Baca juga:  Pajak, Pemutus Lingkaran Tak Berujung

Dalam episode ini, Samba adalah tokoh utama biang kerok punahnya bangsa Yadawa dan hancurnya Kerajaan Dwarawati. Samba berdandan jadi perempuan hamil besar lalu meminta para resi itu memberi tahu mengenai bayi yang dilahirkan apakah laki-laki atau perempuan.

Tahu dipermainkan, sang resi mengutuk dengan menyebut yang lahir adalah mosala (gada) yang akan mendatangkan bencana maha mengerikan. Kutukan itu pun menyeringai, sebab dari perut Samba keluar gada besi.

Ia dan kawan-kawannya panik, menghancurkan gada itu jadi debu lalu membuangnya ke laut. Sri Kresna yang mengetahui takdir telah datang, segera meninggalkan istana menuju hutan. Air laut seketika menggunung menyapu Dwarawati.

Samba yang megap-megap digulung pusaran air tertelan samudra dahsyat. Epos Mahabharata menggambarkan Samba— putra Kresna yang beribu Jambawati– sebagai laki-laki tampan yang cakap dalam menggunakan senjata perang. Walaupun dikenal bernyali pengecut, sebagai elit Kerajaan Dwarawati, ia disegani rakyat.

Baca juga:  Problem Migrasi Iklim

Karena merasa berada di singgasana kehormatan yang berlimpah harta dan fasilitas, Samba jadi lupa diri, angkuh, mendaku diri paling hebat, suka berfoya-foyo dikelilingi para wanita cantik. Padahal makna nama yang disandangnya sangat mulia.

Dalam bahasa Sansekerta arti samba adalah penuh kebajikan. Tokoh Samba mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan sesungguhnya, pemilik atau pengguna nama-nama bermakna luhur tidak selalu
linier dengan jadi diri penyandangnya.

Terhadap kisah Samba ini, memercikkan interpretasi
kenapa lakon “Samba Sebit”—sebit berarti dicingcang—dikatagorikan keramat di tengah masyarakat Jawa. Bisa jadi pesan insplisitnya adalah untuk menghindari masyarakat mencontoh kebergajulan Samba.

Kalaupun bila harus dipentaskan, diperlukan kearifan Dalang atau kreator seni dalam mengkomukasikan, baik sajian estetiknya maupun tuturan tuntunan .oralitasnya bahwa ulah Samba yang doyan selingkuh dan tukang bikin onar tak elok ditiru.

Penulis adalah pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *