Oleh : I Gusti Ketut Widana
Merujuk doktrin “Predestinasi” John Calvin, dinyatakan bahwa “semua peristiwa di alam semesta ini telah ditentukan oleh Tuhan”. Bila demikian, maka apapun yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari kehendak-Nya. Tuhan dalam konteks ini berposisi sebagai Yang Maha Kuasa, sementara seluruh ciptaan berada dalam kuasa dan penguasaan-Nya.
Termasuk manusia, yang tak ubahnya seperti sosok wayang, melakoni karma dalam drama kehidupan dengan pernak-pernik peran unik bin spesifik yang mesti dimainkan sebagaimana tertulis dalam skenario esoterik. Setiap manusia tinggal menjalani, dengan segala rona ironi, sisi tragedi dan bagian komedi yang terkemas dalam campuran catur bekel : suasana suka, aroma duka, nuansa lara, sebelum nantinya berakhir pati.
Dikaitkan dengan rerainan Tumpek Wayang (Sabtu, 1/10) tampaknya memiliki relevansi bahwa memang sejatinya Tuhan itu “Dalang Agung”, mengatur, memberi peran, lalu memainkan setiap kepak figur Wayang sesuai sifat, watak atau karakter, sebelum akhirnya masuk keropak (kematian). Karena itu, dalam konteks pementasan Wayang, sebenarnya adalah sebuah atraksi tontonan yang sarat tuntunan.
Dari padanya, manusia bisa bercermin tentang eksistensi dirinya di pentas kehidupan, yang sering juga disebut panggung sandiwara. Wayang pada hakikatnya adalah simbolisme penokohan tentang perwatakan atau karakteristik manusia melalui fragmentasi kehidupan.
Wayang adalah media apresiasi tentang sebuah ikhtiar pencarian jati diri manusia melalui usaha identifikasi pada tokoh-tokoh pewayangan. Wayang itu juga sebagai sarana instrospeksi dengan berkilas balik melalui bayangan manusia tentang apa, siapa dan bagaimana kesejatian diri berlakon di pentas realitas kehidupan.
Sebuah aktivitas ritual Tumpek Wayang, yang setiap ‘ngenem bulan’ dirayakan umat Hindu pada Saniscara Kliwon Wuku Wayang, bukanlah sekelebat kibasan Wayang yang begitu selesai pertunjukkan langsung masuk keropak, seolah tamat tanpa amanat. Lintasan sejarah kehadiran Wayang, tidak semata-mata ditampilkan sebagai sarana rekreasi mengapresiasi citra seni belaka.
Melalui Wayang tersimpan juga misi suci, inspirasi religi, motivasi imani yang mampu mengeskalasi ke arah peningkatan kualitas rohani (bhakti). Ini berarti, Wayang bukanlah bayang-bayang ilusi yang sarat sensasi fantasi atau kreasi imajinasi tanpa tepi, tetapi sebuah refleksi diri dari eksistensi manusia dengan beragam pola aksi. Maka, menonton Wayang sesungguhnya sama dengan berkaca pada diri sendiri.
Dari padanya terpantul sosok jati diri. Wayang adalah cermin, menampilkan apa adanya tentang diri, asli, tanpa imitasi. Wayang itu adalah kita, bukan lagi sebagai bayang-bayang, melainkan kenyataan tentang sifat, watak, dan karakter beserta peran/lakon yang dimainkan dalam keseharian hidup.
Hanya saja ketika dikorelasikan dengan kehidupan nyata, acapkali terjadi pertukaran, tepatnya permainan posisi dan peran yang mesti dilakoni sesuai tuntutan kepentingan pihak tertentu yang bertindak selaku dalang. Setiap orang, suatu saat bisa saja menjadi dalang atau hanya sebagai anak wayang untuk memainkan lakon guna memeragakan peran sesuai skenario yang sedang dirancang dalam bentuk setingan.
Contoh ter-update, terjadinya kasus spektakuler yang membuat geger korp bhayangkara, dimana sosok pimpinannya terbukti menjadi dalang dengan merekayasa peristiwa pembunuhan bawahannya. Celakanya, sekian jumlah pimpinan dan anak buahnya turut tergiring dalam permainan lakon penghilangan nyawa seorang ajudan hingga akhirnya, baik sang dalang maupun anak wayang terjebak dalam tindakan pelanggaran kode etik dan pidana, dengan risiko masuk penjara.
Begitu juga jika dibawa ke ranah kehidupan lainnya, seperti sosial, tak jarang ditengah masyarakat ada saja sosok yang tampil, entah sebagai dalang atau justru dijadikan anak wayang, lalu diperalat untuk turut menggolkan kepentingan pihak tertentu. Lebih-lebih dalam dunia perpolitikan yang nyaris tidak pernah bersih dari permainan peran melakoni persaingan dalam perjuangan merebut kekuasaan.
Setidaknya, hembusan perseteruan sudah mulai terendus menghangat, bahkan cenderung memanas. Ditandai kemunculan dalang-dalang baru mementaskan permainan wayang bertemakan politik praktis, dengan melakoni peran sebagai penjual isu, pelempar gosip, pemancing masalah, pemanas situasi, dan sejenisnya dengan hanya satu tujuan mengambil manfaat untuk pentingan diri, kelompok atau golongannya.
Benar bukan, Wayang itu adalah kita dengan segala tingkah polah, kadang pongah, semata-mata hanya untuk kepentingan merebut berkah di tengah beribu masalah.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar