Oleh I Gusti Ketut Widana
Selain menerima, dan kemudian melaksanakan ajaran Hindu dari paham Siwa Sidhanta yang memotivasi
umat mengeskalasi obsesi rohani mencapai tingkatan religiositas (siddhi), tak kalah kuat pengaruhnya hingga kini adalah ajaran Tantrayana (Tantra/Tantrik) yang lebih menggerakkan umat ke arah pembangkitan kekuatan magi (sakti). Di Bali, peninggalan yang mencerminkan adanya aliran Tantra berupa temuan arca Siwa Bhairawa di Pura Kebo Edan, Pejeng, Gianyar, dan diyakini sebagai bukti tinggalan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari, penganut fanatik ajaran Tantrik.
Secara ikonografi, tampilan sosok arca Bhaiwara Bima dengan jelas mengekspresikan kuatnya pengaruh Tantrayana, tidak hanya ditilik dari sisi historis tetapi juga secara genealogis dan psikologis memengaruhi karakteristik keberagamaan Umat Hindu di Bali.
Sehingga karakteristik religius yang hendak dibangun ajaran Siwa Sidhanta cenderung termarginalisasi watak magis ajaran Tantrayana.
Tampak terlihat ketika berlangsung aktivitas ritual, hampir tak pernah terlewatkan unsur-unsur “Panca Ma” (Panca Tattwa) berupa sajian beraroma Tantrik, baik secara materialistik maupun simbolik, seperti penggunaan Matsya (ikan), Mamsa (daging), Mada (miras), Mudra (gerak/tarian), dan Maithuna (seksual).
Unsur-unsur praktik ajaran Tantrayana dimaksud, kemudian, bertransformasi ke dalam bentuk menjamurnya fenomena “Seminar” (sekeha minum arak) atau “Semiloka” (sekeha minum lokal) Bali.
Kebiasaan “Seminar” yang kian eksis ini dapat disebut sebagai ekspresi perilaku Tantrik yang sepertinya sudah menjadi bagian gaya hidup kontemporer berlabel budaya penghiburan. Celakanya, semakin ngetrend juga dipraktikkan saat aktivitas ritual suci (yadnya) berlangsung, yang sejatinya berorientasi pengluhuran — menuju kesucian hati guna penguatan sradha-bhakti umat Hindu.
Mulai dari ritual nelubulanin (tiga bulan bayi), ngotonin (enam bulan), menek kelih (aqil balik), apalagi saat resepsi pawiwahan (perkawinan), terjadi simbiosis religis-konsumeris antara obsesi bhakti dengan sensasi hedoni. Setidaknya dapat diamati, sembari menunggu atau mengikuti sirkulasi prosesi ritual, diselang-selingi kegiatan “Seminar”, semacam party, berisikan sajian makanan mulai ikan (matsya), daging
(mamsa), misalnya babi guling, lawar, sate, serapah, dll, ditambah unsur mada — miras, minuman favorit beralkohol (arak, tuak, dll) yang paling tidak boleh ketinggalan. Baik dalam takaran normal/standar (wajar), atau melebihi dosis, hingga berjenis oplosan, dicampur berbagai ramuan atau minuman lain untuk membangkitkan fantasi dan sensasi fly — terbang memabukkan, dan tak jarang mematikan.
Lebih jauh lagi, ketika hasrat hendak meramaikan suasana ritual penghiburan penuh suka cita dan perasaan gembira ria semakin menggebu, adakalanya disertai juga tampilan seni, mulai dari nyanyian dalam kemasan megenjekan, tarian lepas (kontrol) seperti dangdutan plus jogetan, termasuk pertunjukan joged
seronok mengarah pornoaksi/pornografi yang lumayan banyak penggemarnya. Menyedihkan lagi, masih dengan mengenakan busana adat tradisional kebanggaan masyarakat (Hindu) Bali diperagakan adegan-adegan ala Tantrik bergenre Maithuna (sensasi seksual), tidak lagi bersifat simbolik tetapi senyatanya tampak mengarah orgasmik-hedonistik.
Trend fenomena “Seminar” ini, tak dapat dimungkiri kian eksis di berbagai lapisan masyarakat Bali. Mulai dari kalangan berada hingga tak berpunya, dari kaum muda (anak remaja) sampai tua, tidak hanya lelaki, kaum perempuan pun sudah mulai tertular juga.
Menjadikan realita sosial ini seakan memberikan
sinyal bahwa pengaruh ajaran Tantrayana (Tantrik) memang semakin menguat memengaruhi karakteristik masyarakat (Hindu) Bali. Tidak hanya terekspresi dalam konteks kehidupan sehari-hari, aktivitas ritual berdimensi sakral pun sudah dicampur-baur dengan tradisi penghiburan — materialistis, konsumeris dan bertendensi hedonistis.
Sehingga obsesi bhakti menuju pengluhuran, agar umat bertambah religius/spiritualis tampaknya kian terkikis. Semoga saja tidak sampai krisis keimanan apalagi kritis kesusilaan.
Pertanyaannya sekarang, siapa kira-kira yang punya kuasa sekaligus berkemampuan mereduksi, memarginalisasi atau sekalian mengeliminasi fenomena “Seminar” dimaksud? Apakah orang tua yang kebanyakan sibuk, Klian/Bendesa Adat yang kurang tanggap, guru yang tidak selalu digugu dan ditiru, tokoh masyarakat yang belum merakyat atau
figur agamawan yang kehilangan teladan?
Penulis, Dosen UNHI Denpasar