Ilustrasi. (BP/Dokumen Swara Tunaiku)

JAKARTA, BALIPOST.com – Makan terlambat termasuk saat larut malam bisa berpengaruh terhadap berat badan. Studi dari Brigham and Women’s Hospital, dikutip dari Kantor Berita Antara, menyatakan makan terlambat berefek pada tiga faktor utama dalam mengatur berat badan.

Yakni, pengaturan asupan kalori, jumlah kalori yang dibakar dan perubahan molekuler jaringan lemak. Studi yang dipublikasikan Cell Metabolism itu melihat efek makan lebih awal dibandingkan dengan makan terlambat, sambil mengendalikan faktor penting lainnya seperti paparan cahaya, tidur dan aktivitas fisik.

Baca juga:  40 WNI dan 1 WNA Sudah Tiba Dengan Selamat di Amman, Yordania

Para peneliti melibatkan 16 peserta yang dianggap kelebihan berat badan atau obesitas. Mereka menyelesaikan dua protokol laboratorium yakni makan awal dan makan terlambat (empat jam lebih terlambat).

Mereka juga memiliki jadwal tidur dan bangun yang tetap selama dua hingga tiga minggu sebelum protokol laboratorium, juga mengikuti diet ketat di rumah dalam tiga hari menjelang itu.

Selama di laboratorium, peserta mendokumentasikan rasa lapar dan nafsu makan mereka. Sampel penting seperti sampel darah, suhu tubuh, pengeluaran energi dan biopsi jaringan adiposa, juga dikumpulkan.

Baca juga:  Mengurangi Risiko Kesehatan

“(Kami) menemukan makan empat jam kemudian membuat perbedaan yang signifikan untuk tingkat rasa lapar kita, cara tubuh membakar kalori setelah makan, dan cara kita menyimpan lemak,” kata peneliti studi Nina Vujovic dari Brigham’s Division of Sleep and Circadian Disorders.

Menurut studi, makan terlambat secara konsisten mengubah fungsi fisiologis dan proses biologis yang terlibat dalam pengaturan asupan energi, dan pengeluaran serta penyimpanan. Masing-masing hal ini mengarah pada penambahan berat badan.

Baca juga:  Hingga Agustus 2023, Kasus DBD di Denpasar Capai 1.278

Dalam studi baru-baru ini, para peneliti juga menemukan mereka yang makan di siang dan malam hari terlambat mengalami peningkatan tingkat suasana hati seperti depresi dan kecemasan. Para peneliti mencatat studi lebih lanjut diperlukan untuk menguji generalisasinya. Misalnya, hanya ada lima peserta perempuan, yang menyebabkan kurangnya representasi berdasarkan jenis kelamin. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *