MEMULIAKAN air, berarti menghargai kehidupan. Merawat air, berarti merawat peradaban. Jika ingin sumber kehidupan dan sumber paradaban ini tetap tersedia, rawatlah sumber-sumber air. Salah satunya danau.
Danau di Bali memiliki makna strategis. Selain sebagai hulunya kesejahteraan, danau melahirkan peradaban manusia Bali. Tetua Bali sering menyebut bahwa sumber air dari langit itu adalah hujan dan embun. Hujan dan embun turun ke pertiwi, melewati pepohonan di hutan (taru wana). Selanjutnya ditampung di tanah (pertiwi) menjadi danau.
Sebagai hulunya kesejahteraan, maka danau dipandang sebagai tempat pemujaan Betari Laksmi. Pemujaan terhadap Betari Laksmi kemudian berkaitan erat dengan sawah atau huma atau carik, berikut parahyangannya berupa Pura Uluncarik atau Pura Bedugul. Sawah dan parahyangannya kemudian berkaitan dengan subak, yakni organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam bercocok tanam padi.
Dari situ kemudian lahir ritus dan budaya padi, yang diwariskan hingga sekarang. Ada ritus mapag toya, mewinih, biyu kukung, dan mantenin padi. Kemudian, dari aktivitas bertani lahir beragam kesenian. Demikianlah, danau di Bali memiliki posisi strategis dalam melahirkan peradaban.
Demikian pentingnya danau sebagai sumber air, maka tetua Bali melalui kearifan lokalnya, mengingatkan masyarakat agar selalu merawatnya lewat balutan ritual keagamaan Danu Kerthi, di samping Segara Kerthi dan Wana Kerthi yang menjadi satu kesatuan. Segara Kerthi dan Danu Kerthi adalah cara leluhur Bali memayu ayuning sumber air agar tetap terawat.
Sumber air akan selalu tersedia, bila hutan (wana) atau tutupan hijau tetap lestari. Ikhtiar menjaga hutan lewat kearifan lokal, leluhur Bali punya cara lewat Wana Kerthi. Merawat sumber-sumber air tentu tidak berhenti pada upaya niskala saja.
Perlu diikuti dengan laku sekala berupa penghijauan, bersih-bersih sampah dan sebagainya. Dalam konteks peradaban, leluhur Bali menempatkan air pada posisi mulia, sebagai tirtha amerta atau sumber kehidupan.
Betapa pentingnya air bagi kehidupan, sebuah program pesan layanan masyarakat yang pernah ditayangkan Bali TV, sungguh menginspirasi.
Bernarasi lewat dialog tokoh pewayangan Tualen-Merdah. Kurang lebih begini:
Tualen: “Yeh … Mara dugen ne nani lekad, jani suba saget gede. Yeh mara ibi ajak ngorta, jani saget suba ngalahin.” (Yeh.. rasanya belum lama dilahirkan, sekarang sudah tampak dewasa. Yeh..baru kemarin diajak bercerita, tiba-tiba sekarang sudah tiada).
Merdah: “Yeh.. yah, yeh.. yah dogenang rawosan nanang. Kenken maksud nanange to? (Yeh, yah, yeh yah saja sebut nanang, apa gerangan maksudnya? “).
Tualen: “Kene to..lekad iraga medasar yeh (air). Makane sing dadi ngawag-ngawag nganggo yeh. Pelih nganggo yeh, bisa-bisa yeh mata lakar pesu.” (Maksudnya bahwa kita lahir tak terlepas dari air. Air adalah sumber kehidupan. Salah menggunakan air, bukan air kehidupan yang diperoleh, tapi air mata).
Kata ‘’yeh’’ yang dipakai untuk menyampaikan rasa kaget dan sekaligus bermakna air, dalam dialog tersebut sejatinya mengingatkan masyarakat agar bijak memperlakukan air (yeh). Kalau tidak, petaka pun bisa datang, yang membuat air mata keluar.
Ketika Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV tahun 2022 mengangkat tema ‘’Jaladhara Sasmita Danu Kerthi (Air Sebagai Sumber Peradaban), tentu spirit memuliakan sumber air diharapkan kian makin menguat. Melalui perhelatan akbar seni modern FSBJ IV-2022 yang digelar pada 9 – 23 Oktober 2022, kita berharap seniman lewat garapan akbarnya bisa membumikan semangat memuliakan danau sebagai sumber peradaban.
Melalui tema FSBJ IV 2022 ‘’Jaladhara Sasmita Danu Kerthi‘’ inilah para seniman menjadikan air sebagai sumber penciptaan seni dan olah kreatif untuk membangun tatanan peradabanan yang adiluhung, berkesinambungan. Melalui karya-karya kreatifnya, para seniman berkesempatan menggedor pintu hati masyarakat agar senantiasa merawat sumber-sumber air.
Ajakan berkesadaran merawat sumber air, sangatlah strategis lewat hajatan seni yang digagas Ibu Putri Suastini Koster ini. Festival ini tentu muaranya tak hanya sekadar tontonan, tetapi juga sekaligus tuntunan yang mendorong kita agar selalu sadar merawat sumber-sumber air.
Melalui pementaskan garapan seni dalam FSBJ IV, seperti drama modern berjudul ‘’Yeh’’ persembahan Sanggar Teater Agustus, dan drama berjudul ‘’Subak’’ persembahan Teater Selem Putih dan garapan-garapan seni lainnya, kita harapkan mampu makin menyadarkan masyarakat bahwa air itu tak hanya kebutuhan vital, tetapi sumber peradaban, dan sumber inspirasi. Karena itu, rawatlah.
Demikian pula ketika keberadaan subak kian terdesak, seniman berhak menggugat lewat daya ungkap masing-masing. Jangan sampai dalam kebanyakan kasus, nama subak dan Pura Uluncarik masih ada, tetapi lahan pertaniannya habis. Tentu kita tak ingin peradaban air itu tinggal cerita. (Subrata/balipost)