Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Bangsa kita secara regular tahunan merayakan hari olahraga nasional (haornas). Tapi sudahkah berbanding lurus dengan keadaan masyarakat kita yang sehat bagas waras. Bermula dari kondisi murung itu, tak kurang baiknya kita melakukan upaya kontemplasi (permenungan) jagat olahraga kita.

Pada beberapa cabang olahraga kita layak unjuk gigi
dengan aneka prestasi yang dibuktikan dengan capaian medali. Pada ujung lainnya pangung olahraga kita terpuruk kalau tak boleh disebut sepinya prestasi.

Kita bersepakat, olahraga selain menyehatkan juga membuat pikiran kita lebih nyaman. Namun demikian, kala kita menengok ke belakang barang sebentar, di Indonesia itu, olahraga belum sepenuhnya menjadi budaya masyarakat. Padahal pemerintah sudah menyerukan gerakan mengolahragakan

masyarakat dan memasyarakatkan olahraga.
Olahraga sekadar booming atau musiman
menjelma di atas desa maupun kota. Saat musim
sepeda, maka jalan-jalan dipenuhi pegowes bergumul di situ mulai anak-anak, remaja, dewasa
hingga orangtua.

Kala musim sepeda mulai lesu, dapat dipastikan sepeda-sepeda itu tak sedikit yang hanya teronggok di garasi rumah. Nanti jika terbit musim olahraga lainnya, seperti senam, maka kita pastikan toko sepatu, kaos dan perlengkapan senam laris manis, dan seterusnya.

Baca juga:  Etika Profesional Pejabat Negara

Praktik Kelam

Olahraga kadang lebih dipandang sebagai
gaya hidup ketimbang kebutuhan atas kontribusi
olahraga bagi kesehatan diri dan bangsa. Kadang
kita ngelus dada, sebagian dari kita memaksakan
kehendak, menerobos gengsi dan memilih gebyar
ketimbang realitas.

Tak sedikit yang terlibat dalam sebuah komunitas sepeda balap, meski pendapatannya bisa dibilang susahnya laksana menegakkan benang basah, masih saja masyarakat yang menceburkan dirinya ke dalam kelompok itu, Biar dianggap borju, agar dinilai hebat atau sekadar membeli branding tertentu yang berlabel
asli tapi palsu atau berani membeli barang kualitas nomor satu meskipun mengangsur ke bank
atau bank tithil setempat bahkan pinjol ilegal.

Suka tak suka, dunia dan prestasi olahraga
kita tak jarang digerogoti praktik kelam, seperti suap, jual beli score, transaksi pemain, dan sebagainya. Maka kemudian, beberapa waktu silam muncul sepak bola gajah, atau model pengaturan score atau nilai.

Baca juga:  Nudge Teori untuk Produk SNI

Namun pada domain yang lain, tak sedikit mantan atlet yang pernah mempersembahkan medali kini
hidupnya compang-camping dengan beban kebutuhan keluarga yang menindih, sementara mereka juga sudah tak punya gantungan hidup berupa gaji atau bonus abadi yang dicadangkan untuk sekadar bertahan hidup.

Suka tak suka, dunia olahraga belum memperoleh posisi terhormat di masyarakat, karena olahraga belum berkemampuan memberikan daya hidup atas profesi yang digumuli para atlet atau olahragawan kita. Secara kasat mata, tak sedikit pula atlet kita yang lari ke klub lain, hengkang ke daerah lain atau bahkan bermigrasi ke luar negeri, karena satu point penting jaminan kesejahteraanya belum bisa menjadi pegangan hidup keluarga.

Bahkan, lagi-lagi beberapa sosok yang cukup
berprestasi kala diguncang pandemi kemarin terpaksa harus banting stir dengan berbisnis kecil-kecilan hanya untuk menyambung kalender hidupnya. Dua kaki utuh itu akan terejawantah kala ada kolaborasi, keroyokan antara pemerintah dan masyarakat, terma￾suk dunia bisnis dan perguruan tinggi dan
pemangku kepentingan lainnya.

Potret muram keolahragaan kita juga bisa kita endus lewat pendidikan olahraga atau jasamani di lembaga
pendidikan. Guru atau dosennya banyak yang bergelar sarjana, master, doktor bahkan professor, namun demikian tak banyak mereka yang mampu melakukan praktik secara sempurna dalam vak yang diajarkannya, dengan kata lain mereka jago ngomong, teori, modul dan diktat lebih dominan ketimbang praktik di lapangan.

Baca juga:  "Triple Roles" Perempuan Bali pada Era Modernisasi

Ini yang acap menjadi ironi dengan kampus-kampus atau lembaga training center, klub-klub pemerintah dan partkelir tapi sepi melahirkan atlet berprestasi yang mengharumkan bangsa. Ada baiknya barangkali muncul boarding school cabang olahraga tertentu negeri (milik pemerintah) sejak SD hingga perguruan tinggi yang secara khusus menangani bakat dan bibit
atlet kita.

Kita bukan pesimis, tapi memang harus dimulai dari sekarang. Atau sudah saatnya ada semacam blue print nasib dan masa depan olahraga di negeri ini secara berkelanjutan.

Jangan sampai ketika muncul pemimpin baru maka munculah kebijakan atau program baru yang kontra dengan program silam.

Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *