DENPASAR, BALIPOST.com – Jaksa penuntut umum (JPU), Nengah Astawa dkk., dalam kasus dugaan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan terdakwa I Dewa Gede Radhea Prana Prabawa, anak Dewa Puspaka, diminta menghadirkan saksi korban. Dalam hal ini investor yang berniat mengontrak lahan Desa Adat Air Sanih agar dihadirkan ke Pengadilan Tipikor Denpasar.
Bahkan majelis hakim pimpinan Heriyanti dengan hakim anggota Konny Hartanto dan Nelson, menyatakan ini adalah perintah pengadilan yang harus dilakukan jaksa. Saksi korban dimaksud adalah PT. TS yang selama ini beralasan tidak hadir karena ada rapat atau kegiatan lain.
Jika pekan depan JPU tidak bisa menghadirkan saksi korban, maka majelis hakim tidak akan melanjutkan sidang dengan pemeriksaan saksi. “Tolong ada itikad baik dari korban, untuk wajib datang memenuhi panggilan ke pengadilan. Ini perintah pengadilan,” tegas hakim.
Dalam sidang, Jumat (14/10), majelis hakim membijaksanai untuk mendengarkan keterangan delapan saksi. JPU Astawa, Anak Agung Gede Lee Wisnhu Diputera dkk., menghadirkan delapan saksi. Mereka adalah I Made Sukawan Andika, Putu Jineng Kawi, I Made Sukresna, I Ketut Sumanasa, I Nyoman Sudiasa dan dari pihak bank yakni Heru Sukotjo (Bank Mandiri), Ida Ayu Ari Handayani (Bank BPD), Ketut Karya (Bank Danamon Singaraja).
Saksi Sukawan yang diperiksa pertama mengatakan soal kasus Air Sanih, dia hanya disuruh menandatangani surat kuasa oleh Dewa Puspaka (mantan Sekda Buleleng- ayah terdakwa). Sewa lahan seluas 58 hektare.
Lahan itu akan disewa PT. Titis Sampurna. Terjadi adendum dan posisi Sukawan digantikan oleh Dewa Radhea karena surat kuasa bersifat sementara.
Dalam sewa lahan oleh investor, Sukawan mengaku menerima transferan ke rekeningnya sebanyak Rp3,350 miliar. Yang minta transfer, kata saksi adalah Dewa Puspaka. Lalu, oleh saksi Sukawan uang itu diserahkan ke Dewa Puspaka, dan tiga kali ditransfer ke Dewa Radhea, serta ada ke pihak desa adat.
Atas kesaksian itu, saksi Jineng Kawi (mantan Bandesa Air Sanih) menjelaskan uang itu ditolak oleh desa adat, baik dalam bentuk gong maupun uang Rp500 juta lebih.
Namun apa yang dikatakan Jineng soal awalnya ada permintaan gong dari warga, diluruskan oleh saksi (pengurus adat sekarang), bahwa desa adat tidak permah minta gong. Sebab, desa adat sudah punya dua perangkat gambelan, satu gamelan sakral dan satu lagi biasa. (Miasa/balipost)