Dwi Atmika Arya Rumawan. (BP/Istimewa)

Oleh Ir. Dwi Atmika Arya Rumawan, M.M.

Tanaman kopi di Indonesia sudah tidak asing didengar bahkan dikonsumsi sebagai minuman penyegar sebelum melakukan rutinitas kegiatan sehari-hari. Bahkan di Bali dari sejak lama leluhur kita telah mengenal minuman kopi sebagai salah satu minuman rempah penyegar untuk menghangatkan tubuh apalagi di pegunungan, bahkan kalau umat Hindu, menyiapkan (matanding) sajian untuk dihaturkan (masoda) pun dilengkapi dengan seduhan kopi.

Kopi yang merupakan salah satu komoditas perkebunan dihasilkan dari kebun rakyat petani dari Sabang sampai Merauke di samping juga dihasilkan dari PTP atau kebun milik pemerintah, sedangkan di Bali Sebagian besar
pertanaman kopi dimiliki petani sehingga budi dayanya sangat tergantung dari skill petaninya yang didampingi petugas penyuluh.

Di Bali, kopi arabika di kawasan Kintamani (Badung, Bangli, Buleleng) mendapatkan penanganan lebih prioritas karena merupakan produk ekspor hingga mendapatkan sertifikat
IG yang pertama di Indonesia dari Kementerian Humkam, menyusul kemudian kopi robusta yang berada di kawasan Pupuan Tabanan dan Buleleng.

Baca juga:  Di Gianyar, Sembilan Sumber PAD Ini Tak Penuhi Target

Kondisi ini mengangkat harga kopi petani. Luasan pertanaman kopi di wilayah tersebut tidak terlalu luas kalau dibandingkan dengan kebun kopi yang berada di luar Bali, apalagi ditambah dengan terjadinya penebangan tanaman kopi oleh petani.

Namun dari aspek kualitas biji kopi Bali spesifik sangat potensial dipasarkan di internasional dan nasional karena memiliki cita rasa khas kopi specialty. Kualitas produk kopi yang dihasilkan pasti organik, tanpa menggunakan pestisida dan pupuk kimia buatan.

Hanya produktivitasnya relatif rendah namun masih ada peluang untuk ditingkatkan melalui pemupukan dan pemangkasan serta intensifikasi lainnya. Bahkan sekarang Puslit Koka sudah meluncurkan varietas kopi yang lebih unggul produksinya untuk dapat meningkatkan produktivitas.

Potensi pertanaman kopi yang dimiliki petani di Bali baik kopi arabika maupun robusta sangat berpeluang untuk ekspor untuk mendatangkan devisa melalui peningkatkan kualitas maupun kuantitasnya secara berkelanjutan apalagi sudah memiliki sertifikasi IG dan sertifikasi organik untuk bisa mendukung pendapatan daerah (PAD), ketika PAD Bali yang drop bahkan pertumbuhan ekonomi terkoreksi sampai di bawah nol (0), di bawah rata-rata nasional karena dikoyak-koyak COVID.

Baca juga:  Kompetisi Roasting dan Brewing Kopi Jadi Atraksi Wisata Bondowoso

Sepertinya pemerintah sempat kebingungan pada saat serangan COVID merajalela. Terjadi deurbanisasi besar-besaran dari sektor pariwisata ke lainnya, termasuk pertanian. Nampak Bali sangat terdampak sehingga banyak potensi lain yang digali mendadak pada saat itu, padahal pada saat itu terjadi peningkatan harga biji kopi yang sangat signifikan, karena kebutuhan kopi dunia juga meningkat.

Boom PHK karena COVID juga dijadikan momentum untuk mendesain ulang terhadap program pembangunan yang sudah ada, apalagi di sektor pertanian, sampai mewacanakan bagaimana menopang pendapatan asli daerah dari sektor lain agar tidak mengandalkan pariwisata semata.

Sebenarnya Bali memiliki potensi pertanian di lahan kebun dengan tanaman kopi yang sangat potensial untuk digarap dan dikembangkan pemerintah daerah melalui Badan Usaha yang sudah menjadi miliknya agar menjadi pundi-pundi PAD strategis yang lain di luar pariwisata, dengan membeli buah kopi petik merah milik petani sehingga
petani terhindar dari tengkulak atau rentenir, kemudian diolah secara profesional oleh Badan Usaha milik pemerintah sesuai SOP yang diminta atau dipesan pembeli.

Baca juga:  Diusulkan, Retribusi Masuk Bali untuk Dongkrak PAD Jembrana

Hasil kebun yang dikembangkan dari komoditas unggulan didesain agar mampu mendongkrak PAD. Di samping itu secara bersamaan memberi spirit bertani kepada petani kopi di pegunungan yang masih mampu bertahan terhadap bahaya serangan COVID hingga sekarang.

Perlu kajian yang lebih mendalam dan detail serta komprehensif mengenai potensi kebun kopi yang ada dengan rencana dan pengembangannya melalui analisa benefit cost rationya sehingga pemerintah memastikan investasinya yang akan didorong untuk menangani kopi Bali di wilayah Indikasi Geografis lebih profitable.

Penulis, Analis Kebijakan Ahli Madya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *