JAKARTA, BALIPOST.com – Pengakomodasian hukum adat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana tidak perlu dimasukkan ke RUU tersebut. Keberatan itu disampaikan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Budi Santoso Sukamdani, dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (20/10).
“Hukum adat itu sesungguhnya hanya perlu dihormati, diakui, dan dijamin eksistensinya,” kata Hariyadi dalam konferensi pers yang dipantau secara virtual, Jakarta.
RKUHP disebut memasukkan pasal pemidanaan atas perbuatan melawan hukum yang hidup dalam masyarakat. Adapun maksud dari hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat.
Menurut Hariyadi, pengakomodasian hukum adat dalam RKHUP berpotensi mengakibatkan over-kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang sebenarnya tidak diatur dan dilarang dalam perundang-undangan. Hal itu justru bertentangan dengan asas legalitas dan kepastian hukum.
Bagi sektor usaha, lanjutnya, pengakomodasian hukum adat dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menurunkan nilai investasi di wilayah tertentu karena ada keharusan memenuhi kewajiban adat setempat. Selain itu juga berpotensi disalahgunakan karena proses pemidanaan bisa tetap dilakukan selama dianggap melanggar adat-istiadat setempat, meskipun tidak ada aturan tertulis. “Struktur hukum itu harus jelas, apalagi negara kita sudah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga yang diutamakan adalah hukum yang berlaku secara umum,” jelasnya.
Ia menambahkan hukum adat dapat bermasalah pula karena setiap daerah memiliki persepsi yang berbeda terhadap persoalan tertentu. Misalnya, sebuah perusahaan telah membeli tanah dari adat tertentu dan telah disepakati seluruh transaksi yang harus dilakukan. Namun, tanah tersebut masih bisa diklaim oleh anggota suku lain yang merasa tanah ulayat itu miliknya.
Jika contoh seperti itu terjadi, apalagi diakomodasi dalam RKHUP, Hariyadi menyatakan hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. “Kami ingin mengingatkan bahwa setelah Indonesia merdeka, aturan pertanahan ini sudah jelas bahwa tanah yang belum dimiliki oleh masyarakat atau pengakuannya belum ada dasar hukum yang tetap maka semuanya dimiliki oleh negara. Para pihak yang merasa memiliki tanah tersebut yang mungkin sudah turun temurun dan sebagainya maka akan wajib mengajukan kepada negara agar tanah itu menjadi hak milik adat,” kata Hariyadi.
Apabila sudah ada suatu suku yang hidup dalam wilayah tertentu dan mereka tidak keluar dari daerah tersebut maka itu menyangkut persoalan konservasi. “Jadi, kita harus bijak dalam hal meletakkan semua struktur hukum kita. Kalau memang di daerah tersebut bermukim suatu suku yang memang secara turun-temurun mereka di situ, itu bisa dikategorikan konservasi yang dialokasikan untuk mereka sehingga dengan begitu akan lebih jelas ke depan bagaimana pengaturan hukum pertanahan kita,” papar Hariyadi. (Kmb/Balipost)