Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Setiap aktivitas ritual Hindu, setidaknya mempunyai enam (6) landasan : 1) Teologi, menjadikan umat begitu ‘Tunduk pada kuasa Tuhan sebagai Sang Pencipta, Pemelihara dan Palebur; 2) Filosofi, membuat umat sangat Taat melaksanakan ajaran, apalagi berkaitan dengan ritual; 3) Mitologi, mengondisikan umat berada dalam posisi Takut, tidak berani melanggar tuntunan (ajaran dan tetamian); 4) Psikologi, sebagai sublimasi umat dalam pencarian rasa Tenang dan Tentram melalui ritual bhakti; 5) Sosiologi, mendorong umat hidup Tertib dan Teratur dengan melaksanakan kewajiban ritual sebagai sebuah siklus berkeagamaan; dan yang paling ditunggu realisasinya adalah landasan ke- 6) Ekologi, mendorong umat mentransformasi bhakti ritualnya pada ranah environmental.

Mengingat Hindu itu tergolong agama berkarakter alam/alamiah (naturism). Konsepnya selalu mengarah pada terwujudnya harmonisasi alam. Dimulai dari penguatan kesadaran manusia (bhuwana alit), selanjutnya konsisten berkomitmen menjaga, memelihara dan melestarikan segenap unsur alam (bhuwana agung).
Realitanya, kesadaran ekologi umat Hindu masih sebatas pada aktivitas ritual konseptual, bergerak di tataran simbolik ekspresif, masih jauh dari aksi kontekstual behavioristik pada kancah environmental, merubah perilaku dari pengguna menjadi penjaga alam.

Baca juga:  Transformasi Kendaraan Listrik ”Solusi Kurangi Polusi"

Landasan konseptual ritual sudah sangat kuat, namun ketika dituntut realisasi dalam konteks kekinian masih lemah. Contoh konsep Tri Hita Karana sebagai penuntun hidup sejahtera dan bahagia, terlanjur terpeleset menjadi Tri “Kite” Karana, menyebabkan kehidupan tak pernah lepas dari masalah bahkan musibah. Begitupun terkait ritual yang begitu luhur landasan teologi, filosofi dan mitologinya, acapkali menjadi lebur bahkan hancur kehilangan makna.

Lantaran seusai ritual dilaksanakan tetap saja masih jauh dari ekspetasi terjadinya pelestarian ekologi. Sepertinya segala konsep menjadi tidak konek dalam konteks, bahkan cenderung paradoks (nungkalik).

Ritual Caru misalnya yang secara konseptual bermakna “manis”, berharap alam harmonis, namun acapkali berbalik menjadi “caru” (cara merusak) alam. Sebab dalam praktiknya umat bisanya hanya memanfaatkan sumber daya alam, belum ada upaya menanam, memelihara, atau menjaga kelestariannya. Serupa dengan ritual Tawur, tak jarang menjadi “tawur” — tatanan lingkungan (baca : palemahan) semakin ngawur — belum tertata sesuai konsepnya. Begitupun dengan ritual magpag toya (menyambut air), terkesan seperti “makpak toya”, sumber-sumber mata air sudah banyak “dipakpak” (baca : dihabisi) lewat aksi eksplorasi/eksploitasi.

Baca juga:  Triwulan Ini Pasti Positif

Setali tiga uang dengan ritual mulang pakelem, menenggelamkan berbagai jenis hewan ke dasar danau, laut atau puncak gunung. Namun tidak disertai penenggelaman sifat-sifat hewaniah manusia (baca : lobha), sehingga tak keliru jika dikatakan bernilai angka “99” (bhs Bali : sia-sia).

Terjadinya musibah air bah (banjir bandang) belakangan ini yang melanda hampir seluruh wilayah Bali, terutama di daerah Jembrana, membuktikan telah terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungam alam dalam bentuk “ngawen” — semacam pembalakan liar secara sistemik, massif dan terstruktur. Melalui berbagai media pemberitaan, disaksikan betapa gelondongan kayu-kayu besar menggelontor dahsyat ke dataran hilir sebagai dampak pembabatan hutan yang semestinya dikonservasi. Ini bukti keserakahan manusia, dengan semena-mena “memperkosa” alam.

Akibatnya, hutan semakin rusak, area persawahan/perkebunan terendam, beberapa rumah hancur berantakan, bahkan jembatan vital penghubung transportasi Bali-Jawa terputus untuk kesekian kalinya. Imbas lanjutan, konep luhur bin luwih Sad Kertih pun jadi luntur, bahkan babak belur membuat hati bersedih merintih. Sebenarnya musibah ini bukanlah bencana alam, lebih tepat disebut bencana tak alami, karena terlalu besar campur tangan manusia yang dengan sengaja merusak alam.

Baca juga:  Hindari Klaster Upacara Adat, Merajan Dadia Disemprot Disinfektan

Oleh karena itu, serangkaian pelaksanaan hari suci Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon wuku Sinta (26/10), sebagai pemujaan Hyang Widhi (Hyang Pramesti Guru), penting dijadikan moment religius bagi penguatan, tidak hanya dalam konsep ritual tetapi lebih penting lagi terkoneksi dalam konteks environmental melalui aksi nyata merawat, menjaga dan melestarikan alam beserta segenap sumber daya hayatinya. Hal ini selaras dengan arti kata “Pagerwesi” : “Pager” (pageh : kuat, melindungi/membentengi diri) laiknya logam “wesi” (besi) yang dikenal kokoh. Kata kuncinya : kuat konsep, semestinya bertambah kokoh juga dalam konteks.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *