Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.
Baru-baru ini dunia pendidikan di Bali dihebohkan dengan demo siswa di sebuah SMPN di kota Denpasar yang dipimpin oleh Kepala Sekolah yang belum genap 1 bulan ditugaskan di sekolah tersebut. Yang menjadi pertanyaan besar adalah apa yang terjadi? Mengapa sampai siswa
yang masih tergolong anak-anak berani berdemo?
Tentu banyak cerita telah terjadi di dalamnya. Yang pasti cerita yang mendasari demo, karena ada suatu kebijakan
yang diterapkan oleh kepala sekolah yang tidak berkenan bagi mereka yang dipimpinnya.
Kebijakan-kebijakan tersebut tampaknya dirasa menekan dan merugikan mereka yang dipimpin. Sementara, pemimpin yang didemo merasa bahwa apa yang dilakukan sudah sesuai dengan perencanaan, sehingga tidak merasa bersalah.
Miskomunikasi dan mispersepsi telah terjadi di kalangan warga sekolah, yaitu antara Kepsek dengan yang dipimpin, dalam hal ini para guru dan siswa. Guru dan siswa yang merasa tidak puas dengan cara-cara kepemimpinan yang
dilakukan oleh Kepsek ingin masalah yang mereka hadapi dapat segera dipecahkan.
Karena komunikasi dua atau multi arah tampaknya sudah terblokir, demo akhirnya menjadi pilihan untuk menyampaikan aspirasi mereka agar bisa terdengar oleh pihak-pihak terkait. Miskomunikasi dan mispersepsi tersebut sering terjadi karena gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh pemimpin yang kurang berkenan bagi warga yang dipimpinnya.
Gaya kepemimpinan berhubungan dengan cara yang
dilakukan oleh pemimpin dalam menggerakkan dan mempengaruhi orang yang dipimpin, yang biasanya adalah bawahannya. Dalam hal ini kepala sekolah adalah pemimpin di sebuah sekolah, sedangkan yang dipimpin adalah para guru, pegawai, dan siswa.
Ada beberapa jenis gaya kepemimpinan, antara lain gaya kepemimpinan otokratis, laissez-faire, dan demokratis. Gaya kepemimpinan otokratis adalah gaya kepemimpian yang bersifat otoriter. Pemimpin jenis ini lebih bersifat memerintah dan perintahnya paling benar dan harus dikerjakan oleh semua yang dipimpinnya, yang dianggap belum berpengalaman.
Bila dicermati dari apa yang telah terungkap dalam demo tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan yang telah diterapkan oleh kepala sekolah yang didemo tersebut adalah gaya kepemimpinan otokratis. Gaya kepemimpinan yang kurang komunikatif, tampak menekan, dirasa tidak sesuai dengan tupoksi dari warga yang dipimpin, dan menghukum dengan cara-cara yang kurang simpatik.
Hal ini membuat mereka yang dipimpin tidak mendapatkan rasa nyaman dan senang melakukan kewajibannya. Gaya kepemimpinan ini tidak selamanya jelek.
Dalam situasi tertentu, dimana keputusan krusial perlu diambil, misalnya bila ada kasus perundungan (bully) atau pelecehan terjadi di sebuah sekolah, maka pemimpin otokratis dapat mengambil tindakan tegas.
Kepemimpinan laissez-faire adalah kebalikan dari kepemimpinan otokratis. Pemimpin jenis ini biasanya tidak banyak mengontrol bawahannya. Mereka diberikan kebebasan bertindak sesuai dengan apa yang menjadi
pilihannya, sehingga bila kurang pengawasan, mereka dapat saja salah arah dan acuh tak acuh dalam mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kepemimpinan jenis ini banyak terlihat pada cara belajar siswa saat ini melalui sistem online. Pengawasan oleh guru selaku pemimpin terhadap pembelajaran yang dilakukan guru sangatlah minim, sehingga bila siswa tidak
mampu membelajarkan diri sendiri dengan baik (self-directed learning), mereka cenderung akan mengalami kemunduran belajar.
Selanjutnya adalah kepemimpinan demokratis. Gaya
kepemimpinan ini adalah cara memimpin yang banyak digunakan dalam berbagai organisasi termasuk pemerintahan di Indonesia. Dalam musyawarah tersebut, bawahan memiliki kebebasan dalam menyampaikan
pendapat dan gagasan, dan semua masukan tersebut dapat menjadi kesepakatan organisasi, yang harus ditaati dan dilaksanakan bersama. Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya kepemimpinan yang tidak menentukan segala kebijakan seperti pada gaya kepemimpinan otokratis, yang otoriter dan kaku.
Jadi, demo terjadi karena penerapan gaya kepemimpinan yang kurang tepat. Pemimpin yang baik adalah pengayom yang mendengarkan setiap aspirasi bawahan dan menghargai usaha-usaha yang telah dikerjakan. Berbagai keluhan juga perlu didengarkan untuk dicarikan solusi terbaik untuk kepentingan dan kemajuan bersama.
Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha.