Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Sejak 1978, setiap 15 Oktober 1978 dirayakan sebagai Hari Hak Asasi Binatang. Hal itu ditandai dengan Deklarasi Universal Terhadap Hak Asasi Binatang di kantor pusat UNESCO.

Isi dari deklarasi Hak Asasi Binatang oleh UNESCO: pertama, manusia tidak memiliki hak untuk memusnahkan atau mengeksploitasi hewan secara tidak manusiawi. Kedua, merupakan tugas manusia untuk menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk kesejahteraan hewan. Ketiga, tidak ada binatang yang diperlakukan dengan buruk atau menjadi sasaran tindakan kejam. Keempat, jika binatang harus dibunuh, hal tersebut harus dilakukan dengan segera dan tanpa menimbulkan penderitaan pada binatang. Kelima, semua binatang liar berhak atas kebebasan di lingkungan alaminya, baik darat, udara, atau air, dan harus dibiarkan berkembang biak. Keenam, semua binatang pekerja berhak atas batasan waktu dan intensitas kerja yang wajar, memperoleh makanan, serta istirahat. Di Indonesia, hak asasi binatang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 302 yang menyatakan klasifikasi tindakan penganiayaan terhadap hewan serta sanksi yang diberikan berdasarkan tindakan tersebut.

Dalam konteks pariwisata, hak asasi binatang terkait dengan pemanfaatan binatang sebagai daya tarik wisata serta narasi berdasarkan fakta mengenai terpenuhinya hal-hak asasi binatang. Pertama, apresiasi patut ditujukan pada kesenian tradisional Reog Ponorogo. Kesungguhan pelaku seni dan budaya Reog beradaptasi dengan nilai dan standard universal terkait animal welfare. Lima kebebasan binatang (The Five Freedoms) menjadi acuan untuk meminimalisir praktek kekerasan atas satwa, yakni freedom from hunger and thirst, freedom from discomfort, freedom from pain, injury and disease, freedom to behave normally, dan freedom from fear and distress.

Baca juga:  Joged “Jaruh” Kapan Ditindak?

Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, dalam suatu wawancara dengan salah satu televisi swasta meyakinkan publik bahwa Reog saat ini sudah bertransformasi memenuhi selera UNESCO terutama terkait pemanfaatan harimau dan merak dalam properti Reog Ponorogo. Menurut Bupati yang pada bulan April lalu bersama seniman Reog dan masyarakat melakukan aksi keprihatinan di alun-alun Ponorogo sebagai reaksi atas tidak diusulkannya Reog Ponorogo ke UNESCO oleh Kemendikbud, kulit harimau dibuat dengan kulit kambing yang dilukis sangat indah oleh seniman Ponorogo dan bulu merak yang dipakai di dadak merak berasal dari rontokan alamiah bulu merak yang ditangkar. Hal ini patut diapresiasi dan menjadi contoh inovasi seni dan budaya Nusantara yang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai universal.

Kellie Joan Eccleston (2009) dalam penelitiannya tentang animal welfare di Jawa Timur menggugah kesadaran publik akan eksploitasi binatang. Wacana kesejahteraan binatang semakin marak di negara-negara dunia ini. Setiap tahun binatang mengalami penderitaan karena eksploitasi dan penganiayaan. Di Indonesia dengan satwanya yang sangat khas (sekitar 17% satwa di seluruh dunia terdapat di Indonesia) ada kekejaman dan eksploitasi terhadap satwa karena perdagangan terlarang. Tentu, akan menjadi narasi yang positif dalam kampanye dan pengemasan produk pariwisata budaya Nusantara di tingkat internasional. Hak asasi binatang terpenuhi melalui pengelolaan ekowisata berbasis konservasi. Terkait hal ini, naturalis Alfred Russel Wallace telah memetakan keanekaragaman fauna di Indonesia yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pariwisata dengan mengedepankan konservasi untuk menjamin terpenuhinya hak-hak asasi binatang.

Baca juga:  Pilkada, Antara Ekonomi, Politik, dan Kesehatan

Wallace heran karena Borneo dan Sulawesi memiliki jenis burung yang berbeda padahal tidak dipisahkan oleh suatu pembatas geografi fisik yang besar atau pun perbedaan iklim. Wallace meyakini bahwa Borneo, bersama Jawa dan Sumatra, pernah menjadi bagian dari Benua Asia. Dan, Timor, Maluku, Papua dan mungkin Sulawesi, pernah menjadi bagian dari benua Australia-Pasifik. Fauna Sulawesi sangat khas sehingga Wallace curiga bahwa Sulawesi mungkin pernah menyatu dengan benua Asia maupun Australia-Pasifik. Garis yang dibuat Wallace dari timur-Filipina, melewati Selat Makasar dan selat antara Bali dan Lombok kemudian dikenal sebagai Garis Wallacea.

Baca juga:  Menelisik Metaverse, Peluang bagi Industri Kreatif

Pada 1910, tiga tahun sebelum kematiannya, Wallace menyatakan bahwa dominasi bentuk-bentuk Asia pada fauna Sulawesi tercermin pada Garis Wallacea, yang kemudian dipindahkan ke timur Sulawesi. Wallace membagi wilayah Nusantara dalam lima kelompok pulau, pertama, kelompok kepulauan Indo-Melayu yang meliputi Semenanjung Melayu dan Singapura, Borneo, Jawa dan Sumatra. Kedua, kelompok Timor, meliputi Kepulauan Timor, Flores, Sumbawa dan Lombok, juga beberapa pulau kecil di sekitarnya. Ketiga, kelompok Celebes, meliputi Kepulauan Sula dan Buton. Keempat, Kepulauan Molucca, meliputi Pulau Buru, Seram, Bacan, Halmahera dan Morotai, Ternate, Tidore, Makian, Kayoa, Ambon, Banda, Gorong dan Matabello. Kelima, kelompok Papua, meliputi Papua, termasuk Kepualauan Aru, Misool, Salawati, Waigeo dan pulau-pulau kecil lain, dan Kepulauan Kei (The Malay Archipelago, 2009: hal. xxx).

Perayaan hari hak asasi binatang menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk lebih giat menjaga dan membangun narasi positif terpenuhinya hak-hak asasi binatang dan melakukan perjalanan ekowisata ke destinasi ekowisata yang menjalankan prinsip konservasi. Kita akan melihat dan menikmati langsung keagungan Tuhan atas ciptaan-Nya alam Nusantara ini. Selamat merayakan Hari Hak Asasi Binatang 2022.

Penulis, Dosen Hotel and Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *