Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Sudah lumrah, ketika hari suci Tumpek Landep pada Sabtu Kliwon wuku Landep, lalu lintas jalan raya tampak begitu meriah dengan tampilan kendaraan mobil/motor berhiaskan gantung-gantungann, sampian, lamak plus haturan sesajinya. Umat Hindu lazim menyebutnya sebagai hari “otonan motor”, benarkah?

Pada awalnya Tumpek Landep itu adalah aktivitas ritual (mantenin) perangkat senjata berbahan logam berujung lancip (lanying), seperti tombak, keris, pedang, dan sejenisnya, yang lebih dikenal sebagai benda pusaka bernilai historis, estetis, magis dan religis. Perkembangan berikut, dengan mencampur unsur rasa dan rasio ternyata apapun produk teknologi (sederhana-modern-canggih), karena berbahan dasar logam, dan juga berdaya-fungsi menajamkan (mempercepat) capaian hasil (tujuan), maka dipandang patut juga diupacarai.

Jadilah benda hasil produk teknologi lainnya seperti TV, komputer, laptop, mesin cetak, printer, kamera, sepeda gayung, kapal ferry, pesawat terbang, termasuk alutsista — peralatan perang/tempur militer pun sekarang turut “diotonin” – semacam upacara selamatan ala Hindu (Bali).
Secara ‘rasio’ jelas sudah keluar dari konsep dasar ritual Tumpek Landep.

Baca juga:  Diduga Batasi Akses Umat Sembahyang ke Pura Jagatnata, Pengelola KR Disoroti

Tetapi karena umat Hindu lebih banyak bermain di tataran ‘rasa’ dan dikuatkan kemantapan hati (atmastusthi), jadilah mobil, terutama motor yang merupakan alat transportasi vital sebagai media simbolik saat rerainan Tumpek Landep. Maknanya sebagai ungkapan rasa syukur umat Hindu kehadapan Hyang Widhi (Hyang Pasupati) yang telah memberikan berkah anugrah kemudahan dalam menjalani dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Prinsipnya, rasio (pikiran/intelegensi) dan rasa (perasaan/intuisi) tetap harus bersinergi dan menjadi penentu dalam pengambilan sikap dan tindakan guna mencapai tujuan : meningkatkan kesejahteraan lahirriah (jagadhita) dan kebahagiaan bathiniah nan abadi (moksah).

Lebih maknawi lagi, aktivitas ritual Tumpek Landep sepatutnya menjadi moment penajaman pikiran/rasio (nglandepin idep) dan penguatan emosi keagamaan/rasa, sekaligus mengendalikannya agar tidak bergerak tanpa kendali, sebagaimana dinyatakan teks Yogasutra Patanjali, I.2 : ‘citta vrtti nirodha’ : pengendalian benih-benih pikiran dari gelombang atau perubahan-perubahan yang berasal dari gerak pikiran. Sebab diantara semua gerak, hanya pikiran yang pergerakannya bisa melesat hebat melampaui batas sekat-sekat.

Baca juga:  Tantangan Ekonomi Bali 2024

Pikiran juga menjadi penciri khas eksistensi manusia. Filsuf Prancis Rene Descartes mengatakan cogito ergo sum : aku berpikir maka aku ada. Kalimat ini membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang yang dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri. Kendatipun arah pikirannya bisa saja mendua — menuju kebenaran, bisa juga terjerumus pada kesalahan. Disebutlah kemudian manusia itu dalam Bahasa Bali “jelema” — ada sisi salah/buruk (jelē), ada juga unsur baik/benar (melah).

Untuk itu, kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 menginspirasi : diantara segala makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia”. Ini yang patut menjadi motivasi hidup manusia melalui pengendalian pikiran, yang dalam konteks Tumpek Landep patut dibersih-sucikan.

Dengan demikian, sejatinya ritual Tumpek Landep itu bukan “otonan motor” sebagaimana lumrah dilaksanakan, melainkan “ngotonin idep” (manah), agar menjadi manacika — pikiran bersih dan suci. Lalu dicetuskan dalam bentuk ucapan/perkataan yang benar (wacika), hingga direalisasikan melalui tindakan/perbuatan yang baik dan berguna (kayika). Lahirlah kemudian ciptaan, tepatnya buatan manusia hasil sinergi idep dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi berupa beraneka jenis produk alat bantu, termasuk mobil/motor sebagai sarana transportasi pergerakan manusia.

Baca juga:  Rabu, Puncak Karya Pura Sri Rambut Sedana Goa Raja

Jadi, semestinya yang diotonin saat ritual Tumpek Landep, dalam arti dibersih-sucikan itu adalah idep atau pikiran sebagai mainstrea yang menyebabkan terciptanya bermacam alat-peralatan untuk memperlancar, mempermudah dan mempercepat capaian setiap kegiatan manusia di berbagai bidang kehidupan. Sehebat apapun hasil produk teknologi buatan manusia jika tidak digunakan atas kendali idep/pikiran yang bersih-suci, tentunya akan mendatangkan risiko yang tidak diharapkan.

Tak ubahnya seperti pisau bermata dua, bisa bermanfaat, dapat juga berkhianat dan bahkan membuat sesat arah tujuan hidup umat dalam mencapai hakikat sesuai amanat kodratnya — Manu – menjadi manusia utama dan mulia.

Penulis Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *