MANGUPURA, BALIPOST.com – Kemajuan global telah mengikis keberadaan budaya, adat dan tradisi khususnya di Bali. Karena itu keberadaan desa adat sebagai penopang warisan leluhur ini, sehingga tetap lestari.
Seperti halnya keberadaan Desa Adat Blahkiuh, Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal yang memiliki tradisi ngunya. Tradisi ini telah dilaksanakan secara turun temurun hingga saat ini.
Bendesa Adat Blahkiuh I Gusti Agung Ketut Sudaratmaja mengatakan, pada tradisi nguya pelawatan Ida Bhatara akan melancaran keliling desa sekaligus ke Pura yang ada di Blahkiuh. Pelaksanaan tradisi ini dimulai dari Buda Kliwon Dungulan atau Hari Raya Galungan hingga Buda Kliwon Pegatwakan.
“Dalam pelaksanaan pengunyan ini diatur oleh Tapakan Ida Bhatara di masing-masing Pura. Prosesinya pun ada dua, yakni hanya memargi ke menuju Pura, dan dilaksanakan dengan ngelawang atau mesolah di setiap rumah krama desa,” katanya.
Menurutnya, dalam prosesi tersebut Pelawatan Ida Bhatara di empat pura yang akan. Mulai dari Pelawatan Ida Bhatara di Pura Dalem Gede di timur desa akan menuju Pura Dalem Majapahit di bagian barat. Kemudian Pelawatan Ida Bhatara Pura Dalem Swargan di sebelah utara desa menuju Pura Dalem Pancer di selatan.
“Dalam prosesi ngunya, Ida Bhatara akan saling kunjungi ke pura lain dan mececingak ke masyarakatnya. Nanti pelaksanaanya diatur oleh pengiring tapakan,” ujarnya.
Pelaksanaan tradisi ini, Gung Tut Sudaratmaja menerangkan dilaksanakan berbarengan saat Hari Raya Galungan. Saat prosesi pengunyan memargi ini para krama desa adat akan mengahaturkan canang di depan rumah masing-masing. Nantinya krama desa akan mendapatkan tirta.
Sementara untuk prosesi ngunya mesolah atau ngelawang, pihaknya menjelaskan, Pelawatan Ida Bhatara akan berkeliling desa menuju rumah-rumah warga. Dalam prosesi ini akan ada pembagian wilayah, yakni Pelawatan Ida Bhatara di Pura Dalem Swargan bersama Pelawatan di Pura Dalem Pancer, dan Pelawatan Ida Bhatara Pura Dalem Gede dengan Pelawatan Pura Dalem Majapahit.
Prosesi ngelawang ini pun dilaksanakan dengan waktu yang berbeda. “Akan ada perbedaan hari saat pengunyan mesolah ini. Sehingga waktu dari Galungan hingga Buda Kliwon Pegatwakan terisi. Tradisi ini sudah ada sejak lama. Dan godaan Bhuta Dungulan itu saat itu ada. Jadi dinetralisir di seluruh desa, bahkan sampai ke rumah-rumah,” terangnya. (Parwata/balipost)