I Gusti Ketut Widana (BP/Dokumen)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Patut diakui, Bali adalah pulau spirit, diliputi nuansa sakral (suci), aroma magi dan suasana angker (tenget). Hal ini memengaruhi dinamika keberagamaan masyarakat (umat) Hindu yang belakangan melahirkan bermacam fenomena, lalu menjadi realita sekaligus membawa problematika.

Kehidupan beragama yang secara gradual mestinya berorientasi religiusitas dan memuncak pada tingkatan spiritualitas, justru terperosok atau terjebak pada praktik keagamaan yang sebenarnya masih berada di level awal (bawah/rendah) — magico-religio — sistem keyakinan yang menekankan sisi-sisi magi-k. Sejalan dengan pandangan Roberston Smith perihal evolusi agama, dimulai dari tahapan magik, lalu religik dan kemudian empirik.

Tak terkecuali fenomena kerauhan, tak lepas pula, bahkan melekat kuat unsur-unsur magi meski dalam praktiknya berbingkai religi. Persoalannya kemudian, kerauhan ini semakin ngetren ketika secara sadar di-setting demi sebuah sensasi, lalu dikreasi sebagai bagian dari konten
dunia maya dengan motif raihan rating melalui hitungan viewer, like, komen dan subscribe lalu di-share ke banyak grup medsos.

Ujungnya bermuara pada target fulus — pendapatan materi.
Semacam obsesi semeton Bali hendak menjejaki profesi teranyar generasi milenial di era digital semisal sebagai youtuber dengan sejumlah follower yang dapat mengantarkan seseorang menjadi terkenal (popular) lalu berharap meraih keuntungan finansial.

Baca juga:  Menimbang 44 Tonggak Peradaban Bali Era Baru

Jadilah fenomena kerauhan sebagai bagian dari komodifikasi magi berlatar ritual religi (yadnya). Belakangan tersebar kabar, sekarang ini sudah muncul yang namanya Sekaa Kerauhan, kelompok masyarakat (Hindu) Bali yang secara khusus melakukan aktivitas bhakti ke suatu tempat (suci/Pura), atau keramat (pingit), dengan salah satu motif — Kerauhan.

Seperti hendak uji coba “berkomunikasi” pada sosok niskala (gaib) yang bersthana (berada) di tempat tersebut. Bisa juga sekaligus berniat membuktikan diri “berkemampuan” (sakti) menembus dunia lain tak kasat mata: alam astral. Bahkan tak jarang dengan bangga sambil tepuk dada menyatakan diri sudah bertemu dengan Ida Bhatara Sesuhunan atau malah mengaku sudah pernah pergi/masuk ke suargan (surga).

Secara etimologi, istilah Kerauhan, berasal dari kata “rauh” (bhs Bali: datang), atau kedatangan. Pertanyaannya, siapakah yang datang, dan bagaimana ciri-cirinya? Tentang ini, ada banyak pendapat, lazimnya, jika ses￾eorang Kerauhan, yang bersangkutan sedang “kedatangan”, tepatnya “kemasukan” (kaencegin) sosok misteri dari
dimensi dunia lain. Bisa Ida Bhatara/Dewa (sesuhunan), kadang berupa rencang (semacam penjaga/pengawal), atau unen-unen (biasanya berwujud hewan (singa/macan, kera, ular, dll), tak jarang juga dari kelompok makhluk gaib lokal lainnya (memedi, tonya, wong samar, dll) atau penghuni astral lainnya yang telah lama mendiami suatu tempat.

Baca juga:  Fenomena "Supermoon," Warga Diminta Waspada Air Rob Maksimum

Tampilan orang Kerauhan, biasanya bertindak sesuai tingkah sosok yang datang (ngerauhin). Mulai dari gerak-gerik, tutur kata dan ekspresi perilakunya. Jika wajah teduh, tutur kata lemah lembut dan ekspresinya damai, dipercaya yang bersangkutan “dimasuki” energi suci Ida
Bhatara/Dewa.

Kalau sebaliknya, dicurigai energi magis dari makhluk dimensi lain sedang merasuki dengan ekspresi wajah keras, sangar, mata memerah, kata-kata bernada marah dan tak jarang bertingkah membahayakan diri dan orang sekitar. Mengacu pendapat Prof. Wayan Suka Yasa,
fenomena Kerauhan kekinian, lebih bersifat rajas-tamas (pengaruh ego dan kegelapan) dengan berbagai motif.

Baca juga:  Lonjakan Kasus Omicron Disebut Fenomena "Super Spreader"

Dalam yoga, Kerauhan itu hasil dari laku dhyana, lalu mendapat penampakan Istadewata (Dewa pujaan), dan tergolong tingkat tinggi, yang kini langka terjadi. Menurutnya,setidaknya ada empat katagori Kerauhan : 1)
Memang benar “ketedunan” — Ida Bhatara/Dewa hadir, sebagai bukti telah terjadi relasi antara alam niskala (astral/gaib) dengan dunia sekala, sekaligus sebagai penanda Beliau telah berkenan menyaksikan dan menerima persembahan yadnya yang sedang dilangsungkan; 2) Mencari sensasi dengan bertingkah seolah-olah “kerauhan” Ida Bhatara/Dewa, padahal hanya
sebagai trik dan taktik mendapat atensi publik, 3) Sebagai sublimasi atas pressure jiwa (mental) akibat berbagai tekanan kehidupan yang mengarah pada gangguan psikologis; dan 4) Ingin mendapat pengakuan bahwa yang bersangkutan telah melampaui tingkatan bhaktinya dibandingkan masyarakat (umat) kebanyakan. Semacam ekspresi aktualisasi diri lewat tumpangan dunia magi, yang sebenarnya ke semua itu dapat saja mendegradasi obsesi capaian rohani yang jauh lebih tinggi-religiositas/spiritualitas.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *