JAKARTA, BALIPOST.com – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi undang-undang ibarat pepatah tidak ada gading yang tidak retak.
“Tidak ada gading yang tidak retak, apalagi kita masyarakatnya multikultur, multi-etnis,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly usai Rapat Paripurna DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (6/12).
Dikutip dari kantor berita Antara, Yasonna mengatakan, lantaran perjalanan panjang penyusunan RKUHP yang memakan waktu lama di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang multikultur dengan beragam suku, agama dan ras. “Belanda saja yang homogen memerlukan waktu panjang merancang undang-undangnya, 70 tahun. Kita yang isinya masyarakat multi-etnis ini memerlukan akomodasi yang luas,” katanya.
Menkumham kemudian merinci proses perjalanan penyusunan RKUHP yang disebutnya tidak mudah karena telah bergulir sejak tahun 1963 dengan melewati kepemimpinan kepala negara yang telah berganti-ganti pula.
“Mulai dari zaman Pak Harto (Soeharto), para ahli juga sudah berkumpul, drafting dimulai kemudian pernah dimasukkan pada zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), kita bahas. Kemudian karena tidak cukup waktu, dilanjutkan lagi pada masa pertama pemerintahan Pak Jokowi,” tuturnya.
Kemudian, pemerintah dan DPR RI telah menyepakati RKUHP dalam pembahasan tingkat pertama untuk dibahas dalam pengambilan keputusan tingkat kedua pada Rapat Paripurna DPR RI sekitar September 2019, namun urung dilanjutkan pembahasannya karena gelombang protes terhadap 14 poin krusial di dalamnya. “Kita tidak teruskan pembahasannya di tingkat kedua. Kemudian kita carry over pada periode yang sekarang,” ujarnya.
Yasonna menyebut pada periode kepemimpinan saat ini, pembahasan RKUHP dilanjutkan dan Tim Perumus RKUHP pun telah melakukan sosialisasi ke berbagai daerah sebagaimana perintah Presiden Joko Widodo.
“Kita bawa kembali kepada ratas (rapat terbatas) dan Presiden memerintahkan kembali kepada kami untuk sosialisasi ke seluruh penjuru Tanah Air, ke seluruh penjuru stakeholders yang ada,” kata Menkumham.
Yasonna pun mengakui penyusunan RKUHP tidak mungkin dapat mengakomodasi 100 persen lapisan masyarakat.
“Semua masukan masyarakat kami terima dengan baik. Tentunya pada saatnya kita harus mengambil keputusan dalam satu rapat paripurna untuk melahirkan (KUHP), tadi saya katakan ternyata tidak mudah melepaskan diri dari warisan kolonial,” ucapnya.
Menurut ia, apabila Indonesia masih terus memakai KUHP lama yang merupakan produk kolonial, hal itu menunjukkan tidak ada kebanggaan sebagai anak bangsa karena hukum pidana suatu negara disebutnya merupakan refleksi peradaban suatu bangsa. “Saya kira kita tidak mau lagi menggunakan produk kolonial, terlalu lama. Seolah-olah anak bangsa ini tidak mampu melahirkan sesuatu produk undang-undang,” kata Yasonna.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disahkan menjadi undang-undang.
“Apakah RUU KUHP dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang,” kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dalam Rapat Paripurna DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa. Setelah itu, seluruh anggota DPR yang hadir menyetujui RUU KUHP untuk disahkan menjadi undang-undang. (Kmb/Balipost)