Oleh Kadek Suartaya
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) yang berlangsung di Bali pada tanggal 15-16 November 2022, bak menjadi ajang diplomasi kebudayaan Indonesia.
Tengoklah, begitu para undangan terhormat yang datang dari perjuru dunia turun dari pesawat dan menginjakkan kakinya di tanah Bali, gemerincing suara gamelan menyambut mengiringi tarian Pendet puluhan gadis Bali, menyongsong dengan rona berbinar disertai senyum ramah menaburkan bunga wangi.
Ketika kemudian menuju arena perhelatan di Nusa Dua, sepanjang jalan yang dilalui melambai ribuan penjor dengan rangkaian janur segar berseri-seri memberi salam damai. Puspa warna seni budaya Bali—serta Nusantara lainnya yang dihadirkan dalam setiap lekuk dan rangkaian hajatan internasional nan prestisius tersebut, mencuatkan binar estetik yang menggugah lubuk hati tetamu.
Pertemuan G20 yang digelar untuk ke-17 kalinya ini diselimuti krisis global seperti ketegangan dunia dari efek perang Rusia vs Ukraina dan kegalauan karena belum redanya ancaman epidemi Covid-19. Bisa jadi karena
itulah pembahasan agenda utama konferensi ini mengusung tema besar: Recover Together, Recover Stronger (Pulih Bersama, Bangkit Perkasa). Di tengah konteks ini kontribusi jagat seni sebagai ekspresi kebudayaan memancarkan dan memercikkan kedamaiannya di tengah KTT G20.
Keindahan universal seni mengumbar pesona dalam forum G20 di Pulau Dewata. Sejarah mencatat, kecamuk tragedi perang pernah luruh reda ditengahi oleh diplomasi budaya melalui idiom seni. Demikian pula trauma malapetaka wabah penyakit banyak diyakini dapat diterapi dengan keteduhan seni.
Karena itu, atmosfer diplomasi kebudayaan Indonesia di arena KTT G20 2022 ini terasa melipur serta mereduksi kegelisahan perang dan menjadi terapi pemulihan terjangan malapetaka Corona. Sejauh ini, pemahaman diplomasi kebudayaan sering diimplementasikan dengan melanglang negara-negara yang dijadikan sasaran.
Diplomasi kebudayaan oleh pemerintah Indonesia, sejak zaman Bung Karno hingga sekarang, sewaktu-waktu mengutus duta-duta seni ke mancanegara. Kini ketika Indonesia menjadi pusat perhatian dunia dengan digelarnya KTT G20 di Bali, merupakan kesempatan emas bagi kita memanfaatkan peluang berdiplomasi kebudayaan
tanpa perlu mengirimkan pegiat seninya ke penjuru jagat.
Berkaitan dengan sejumlah kegiatan G20 itu, disiapkan secara khusus beragam ekspresi seni dan keunggulan
budaya, sejak dari pintu gerbang kedatangan para delegasi hingga konferensi selesai. Di Bandara Ngurah Rai misalnya, selain ada penyambutan gamelan dan tarian, interior dan eksteriornya digarap bernuansa nilai seni onamentik lokal Bali dengan pengejawantahan kreatif mentereng nan mengundang takjub.
Demikian pula dalam momentum sesi seremonial dan sajian hiburan, seni pertunjukan ikon Bali seperti Barong, Legong, Cak dan sebagainya semua dikerahkan sarat euforia. Saat jamuan makan malam di Garuda Wisnu Kencana (GWK), pelangi tari Nusantara dengan kemasan multimedia spektakuler, disimak apresiatif para tamu negara.
Diplomasi kebudayaan dalam pengelolaan hubungan antar bangsa tentu tidak terbatas pada pengertian mikro yang menganggap kebudayaan hanya sebatas kesenian saja.
Karena, dalam pengertian makro, kebudayaan mencakup suatu yang luas seperti nilai-nilai ideologi, nasionalisme dan bahkan globalisasi.
Namun karena seni memiliki keluwesan dari hati ke hati, diplomasi kebudayaan dengan aksentuasi seni banyak diandalkan. Sejarah mencatat betapa diplomasi budaya sangat berperan dalam menjalin persahabatan, solidaritas, bahkan menghindari konfrontasi perang.
Diplomasi kebudayaan dengan kiat dialogis kesenian sudah berlangsung pada zaman kerajaan Babylonia dan Mesir purba, tahun 1500 sebelum Kristus. Kemudian, kini, diplomasi melalui pendekatan seni budaya, mendampingi,
misalnya, formalitas diplomasi politik.
Logo KTT G20 2022 yang menggunakan wayang kayon dengan sebutan Gunungan terasa mengibarkan diplomasi kebudayaan. Didesain secara siluet dengan konfigurasi
motif kawung batik, kita menunjukkan kepada dunia, cara pandang bangsa ini yang dilandasi kearifan dan filosofi luhur sebagai makhluk hidup di alam semesta.
Penulis, pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar