DENPASAR, BALIPOST.com – Gempa beruntun yang mencapai hingga puluhan kali terjadi di Karangasem, Selasa (13/12). Magnitudonya antara 1,9 hingga 5,2 SR.
Gempa ini terjadi pada saat sasih keenam. Sehingga bagi masyarakat Bali gempa ini memiliki makna tersendiri.
Menurut Sulinggih Ida Pandita Mpu Siwa Budha Daksa Darmita darmdari Geria Agung Sukawati, Gianyar, Rabu (14/12), secara metafisis gempa atau linuh yang terjadi pada sasih keenam apalagi nemu anggara pon menandakan tidak baik. Banyak hal yang akan terjadi setelah terjadinya gempa.
Sebab, berdasarkan susastra Palalindon yang sangat diyakini oleh para leluhur/nenek moyang dari dulu. Bahkan banyak sudah dilakukan penelitian ilmiah oleh pakar-pakar agama Hindu.
Adapun ekses dari adanya gempa yang terjadi ini, diantaranya penyakit pada tumbuhan tidak terelakkan, tumbuhan/tanaman “geseng”, energi negatif tidak berbentuk sempurna “memangsa” korban berjatuhan, tidak ada rasa belas kasih, bhumi panas “grah mrapah”, penyakit “makweh”, pemimpin merasa kewalahan menghadapinya. Oleh karena itu, para “dwija” pandita harus meningkatkan kewaspadaannya.
Dikatakan, secara Teologi Hindu hendaknya pemegang kebijakan wajib menghaturkan upacara kepada Sanghyang Lintang Tranggana, Sanghyang Akasa, Sang Hyang Narayana/Pasupati, Sanghyang Mahadewa, Sanghyang Ananta-Bhoga, Sanghyang Rudra, Bhatari Uma yang merupakan manisfestasi dari Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
“Upacara yang dihaturkan ini sesuai dengan petunjuk Susastra Hindu, mantranya jelas ada dan sarananya tidak sukar mencari, tinggal “digerakkan” keep moving, jangan abaikan tradisi adi luhung yang ada agar kita dan jagat ini senantiasa diberikan perlindungan dan kemakmuran sebagai sebuah harapan,” ujar Ida Pandita. (kmb/balipost)