Ketut Netra. (BP/Istimewa)

Oleh Ketut Netra, S.H., M.Kn.

Konferensi internasional oleh Asia Pacific Cities Alliance for Tobacco Control and NCDs Prevention (APCAT) yaitu Konferensi Aliansi Kota Asia Fasifik untuk pengendalian tembakau dan pencegahan penyakit tidak menular baru-baru ini digelar di Bali. Pada kesempatan itu ratusan utusan hadir dari 82 wali kota di 12 negara di Kawasan Asia Fasifik.

Mengapa aliansi ini begitu getol memerangi bahaya tembakau? Badan Kesehatan Dunia (WHO), pernah menetapkan 31 Mei sebagai Hari Tanpa Tembakau
Sedunia (HTTS). Penetapan tersebut dimulai sejak 1988.

Perjuangan dan propaganda WHO ini begitu panjang. Sebagai badan PBB yang bertugas di bidang
kesehatan WHO menempuh segala cara, bagaimana agar kesehatan umat manusia di dunia ini terawat
dengan baik. Salah satu cara ditempuh ketika 2008 adalah WHO menyerukan larangan iklan tembakau.

Baca juga:  Kecerdasan Emosional Semakin Diperlukan

Latar belakang seruan HTTS ini antara lain, betapa bahaya tembakau terhadap kesehatan. WHO pernah melaporkan setiap tahun 3,3 juta orang meninggal karena menderita sakit paru-paru akibat rokok.

Dari jumlah tersebut 60.000 orang berusia di bawah 5 tahun meninggal karena terinfeksi saluran pernafasan akibat merokok pasif. Menyimak data tersebut, sungguh
mengerikan. Apalagi kalau dilihat Indonesia merupakan ranking merokok aktif ke tiga, setelah China dan India.

Menyadari bahaya rokok yang demikian itu, bagaimana di Indonesia? Bali sebagai obyek wisata internasional, sejak 2011 telah mengeluarkan Perda Provinsi Bali
Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Pada intinya pemerintah daerah mengatur larangan merokok di tempat-tempat umum.

Baca juga:  Ini, Pengakuan Para Pemesan Tembakau Gorila

Namun walaupun ada larangan, Pemda masih memberikan kompensasi yaitu pemerintah diwajibkan
menyiapkan tempat-tempat khusus bagi warga yang ingin merokok di tempat umum. Saat ini, gaung sosialisasi HTTS di kalangan masyarakat luas mulai dipahami oleh semua lapisan masyarakat.

Sebelumnya di kalangan masyarakat luas, ketikabtahun 2000an misalnya seseorang seenaknya merokok di ruangan. Mereka beranggapan itu bukan ruangan untuk
umum.

Memaknai HTTS sebagai hari tanpa tembakau sedunia,
sebenarnya pada hari 31 Mei para perokok diharapkan
oleh WHO untuk tidak merokok selama 24 jam. Dengan
maksud makin mengurangi ketergantugan terhadap rokok, dan untuk menjaga kebersihan udara selama satu hari.

Baca juga:  Seni Virtual di Tengah Pandemi

Namun kalau disimak, yang didengungkan adalah hari tanpa tembakau, dan kenyataan yang dilarang adalah rokok. Rupanya istilah tersebut tidak cocok.

Karena tembakau sendiri merupakan benda yang sangat berguna bagi kesehatan. Sehingga HTTS menjadi rancu, seharusnya Hari Tanpa
Rokok Sedunia.

Tembakau justru menyehatkan. Di Bali para orang tua dulu, yang mengunyah sirih dengan segala campurannya, kemudian diakhiri dengan ngemut/ngemil tembakau (masigsig). Cara-cara ini justru memberikan
kesehatan umur panjang dan gigi yang kuat. Demikian juga yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di Indonesia Timur. Kesimpulannya, ternyata tembakau itu menyehatkan.

Penulis, Pensiunan Jaksa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *