DENPASAR, BALIPOST.com – Ribuan warga Bali, terutama para pecinta seni drama gong, tumpah ruah memadati tribun Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali, Denpasar, Sabtu (17/12) malam. Mereka hadir menyaksikan idola mereka tampil kembali dalam satu panggung dalam pementasan kolosal drama gong lawas “Dukuh Suladri.”
Pementasan ini diinisiasi oleh Paguyuban Drama Gong Lawas. Pementasan mereka ini merupakan reuni para pemain drama gong lawas dalam satu panggung.
Pasalnya, drama gong lawas ini diperankan 33 pemain drama gong lawas atau legendaris yang berasal dari daerah Gianyar, Bangli, Klungkung, Denpasar, Badung dan Singaraja. Yaitu, Komang Apel, Moyo, Petruk cs, dan 30 pemain pendukung lainnya.
Gelak tawa dan kebahagiaan penonton sangat terlihat jelas saat disuguhi penampilan apik para idolanya. Mereka seakan mengenang kembali masa lampau, saat masanya drama gong sedang jayanya di era 1970 hingga 2000-an.
Salah satu penari drama gong legendaris yang masih eksis sampai saat ini, Nyoman Subrata alias Petruk ditemui disela-sela pementasan mengatakan memang sudah sepantasnya keberadaan drama gong dibangkitkan kembali di tengah gempuran zaman dan era teknologi. Ia berharak generasi muda harus mampu menjadi penerus dalam melestarikan keberadaan Drama Gong sebagai salah satu bentuk seni budaya Bali.
Petruk merasa sangat bangga, di usianya yang ke-74 tahun ini bisa berkumpul kembali dan tampil bersama rekan-rekan drama gong lawas di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali, Denpasar. Ia mengaku semangatnya bertambah ketika mendengar tepuk tangan dari ribuan penonton. Hal itu mengingatkannya saat-saat drama gong masih berjaya pada tahun 2000-an.
Seniman asal Br. Kawan Bangli ini berharap ke depannya masyarakat selalu bisa menikmati pementasan drama gong dan kesenian drama gong ini dapat beregenerasi, serta pemerintah daerah selalu memperhatikan para seniman Bali untuk tetap bisa berkarya untuk melestarikan kesenian Bali.
Ketua Paguyuban Peduli Seni Drama Gong Lawas, Anak Agung Gede Oka Aryana, SH., MKn., mengungkapkan pementasan drama gong lawas ini dalam rangka menghimpun kembali seniman-seniman drama gong lawas. Selain itu, juga sebagai bentuk reuni, temu kangen, dan berharap kesenian drama gong bisa eksis kembali.
Di samping juga untuk menggugah masyarakat mauoun pemerintah daerah agar lebih peduli terhadap keberadaan para pemain drama gong lawas. Sebab, bagaimana pun juga mereka pernah membangkitkan seni dan budaya yang ada di Bali pada masanya.
Dikatakan, drama gong adalah salah satu seni drama tari yang paling diminati oleh masyarakat Bali pada era tahun 1980 hingga tahun 2000an. Pada masa itu banyak bermunculan seniman drama gong di Bali, khususnya di Kabupaten Bangli seperti (alm) Dolar, Petruk, Perak, Sang Ayu Ganti, Nengah Dwi Madya Yani dan kawan-kawan.
Namun seiring perkembangan zaman dan teknologi, peminat drama gong mulai berkurang. Bahkan pertunjukan drama gong nyaris tidak pernah dipentaskan. “Atas dasar inilah kami Paguyuban Peduli Seni Drama Gong Lawas mementaskan kembali drama gong yang diperankan oleh pemain drama gong lawas sebagai ajang untuk mengingatkan masyarakat bahwa seniman drama gong yang dulu masih hidup. Walau mereka sudah tua, tetapi meraka masih sehat,” tandas Aryana yang berprofesi sebagai Notaris ini.
Sementara itu, seluruh skenario pementasan drama gong lawas “Dukuh Suladri” disutradaria oleh Maestro Drama Gong, Wayan Puja (85). Pada kesempatan ini, ia pun diberikan penghargaan oleh Paguyuban Peduli Seni Drama Gong Lawas”.
Wayan Puja pun berharap agar generasi muda Bali bisa melestarikan seni drama gong ke depannya. Begitu juga kepada pemerintah daerah agar lebih peduli kepada seniman drama gong, sekaligus terus memberikan ruang kepada para pemain drama gong lawas untuk tampil dalam event budaya. (Winatha/balipost)