Oleh Ni Luh Putu Ratna Wahyu Lestari, S.E., M.Si
Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata favorit bagi wisatawan dunia. Opini tersebut didasarkan atas data yang menyatakan bahwa Bali selalu masuk ke dalam jajaran 5 (lima) besar destinasi pariwisata terbaik di dunia berdasarkan Tripadvisor. Namun pada akhir tahun 2019, Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) atau yang lebih dikenal dengan nama Virus Corona mulai merebak di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Covid-19 menjadi teror yang maha mengerikan bagi masyarakat dunia karena penyebarannya yang sangat cepat. World Health Organization (WHO) bahkan telah meningkatkan status kasus Virus Covid-19 menjadi pandemi.
Hal yang tidak kalah memprihatinkan adalah terguncangnya perekonomian masyarakat Bali, yang bermuara pada kesulitan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Bali memiliki masalah fundamental, yakni terlalu bergantung pada sektor pariwisata sehingga rentan guncangan, pandemi Covid-19 berdampak terhadap keterpurukan perekonomian Bali sejak 2020 sehingga memunculkan persoalan pengangguran dan kemiskinan di Bali.
Namun, seiring berjalannya waktu, pariwisata Bali pada tahun 2022 ini terus membaik sejalan dengan penyelenggaraan sejumlah event internasional, pelonggaran kebijakan perjalanan, dan peningkatan jumlah maskapai internasional yang mengoperasikan penerbangan langsung ke Bali, terutama sejak Maret 2022. Meskipun sudah ada peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara, namun belum menyamai jumlah kunjungan wisman sebelum pandemi Covid-19 yang dalam setahun mencapai 6,2 juta orang.
Demikian pula tingkat hunian hotel di Bali masih rendah, apalagi lama tinggal wisatawan mancanegara juga belum bisa dikatakan normal. Meskipun tingkat hunian hotel di kawasan Nusa Dua, Kabupaten Badung, sudah tinggi karena menjadi tempat penyelenggaraan berbagai konferensi internasional. Namun ke depan kita harus mengingat bahwa pariwisata Bali bukan hanya Nusa Dua saja. Ke depannya, di samping pariwisata harus diperhatikan, pemerintah juga hendaknya tetap mengawal potensi sektor pertanian. Dengan demikian, ketika terjadi sesuatu, maka ekonomi Bali bisa bertahan, dan tidak hanya mengandalkan sektor pariwisata saja. Pariwisata Bali hendaknya dikembangkan secara digital dengan konsep ekonomi hijau (green economy) sehingga Bali tetap menjadi surga bagi para wisatawan. Terlebih saat ini sedang tren “digital nomad” yang bisa bekerja dari mana saja.
Pertanian memiliki peranan penting karena sektor tersebut merupakan penyumbang terbesar ketiga dalam struktur ekonomi Indonesia. Selama pandemi, resiliensi sektor pertanian tak lain karena sektor tersebut berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia terhadap makanan sehingga masih akan dibutuhkan dan berproduksi. Sementara itu ditinjau dari sisi epidemiologi, wabah Covid-19 mayoritas menyebar di perkotaan atau kawasan padat penduduk. Artinya, pertanian yang mayoritas tidak berada di perkotaan relatif lebih aman. Sejarah mencatat bahwa krisis membawa sebagian besar tenaga kerja kembali ke sektor pertanian. Berkaca pada krisis yang pernah terjadi pada 2008 bahkan krisis 1998, tak sedikit masyarakat Indonesia yang memilih kembali ke sektor pertanian, sehingga bukan tak mungkin jika dalam beberapa bulan ke depan data statistik memiliki kecenderungan menunjukkan adanya peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian akibat pandemi.
Sementara pada kondisi normal, banyak masyarakat perdesaan yang memilih mengadu nasib di perkotaan menjadi pekerja sektor manufaktur maupun jasa. Resiliensi sektor pertanian terhadap pandemi dan kecenderungan peningkatan tenaga kerja sektor pertanian menjadi momen baik bagi pemerintah untuk mereformasi sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemerintah perlu terus mendorong agar petani mulai memasukkan unsur teknologi di dalam proses produksi baik di on-farm maupun off-farm untuk peningkatan daya saing dan memenuhi kebutuhan pasar yang lebih besar dan dinamis.
Penulis, Mahasiswa Program Doktor Akuntansi FEB Universitas Udayana