Oleh : Viraguna Bagoes Oka
Sejak memasuki akhir triwulan ketiga 2022.rentetan tekanan dampak pandemi Covid-19 masih belum berakhir yang masih terus menghantui masyarakat dunia, regional nasional dan lokal. Hal ini tercermin dari belum terbebasnya kewajiban masyarakat dalam penggunaan masker di ruang publik dan perkembangan pelaksanaan booster tahap 2 yang sedang terus berlangsung menjadi kewajiban masyarakat kita saat ini.
Selain itu, prioritas APBN pemerintah Indonesia tahun 2023 mendatang masih terkonsentrasi antara lain di bidang kesehatan, ketimpangan sosial, pendidikan, infrastruktur, pemilu dan pariwisata berada di urutan ke enam. Sementara Bali yang 90 persen perekonomiannya sangat tergantung pada sektor pariwisata menjadi terabaikan, apalagi pertumbuhan perekonomian Bali di triwulan ketiga 2022 masih stagnan negatif minus 2 persen atau terendah dibanding 34 provinsi di Indonesia lainnya yang sudah memasuki pertumbuhan positif di angka 4-5 persen.
Tantangan lainnya yang juga sedang dihadapi Bali adalah ketergantungan bahan pokok Bali 50-60 persen ditopang pasokannya dari luar Bali. Selain itu, Urbanisasi/pertumbuhnan penduduk dari luar Bali dengan membaiknya infrastruktur sarana jalan tol dan kemudahan sarana angkut wilayah luar ke/dari Bali menyebabkan kepadatan dan tekanan penduduk di Bali Selatan semakin tak terbendung. Hal ini tercermin dari lonjakan pertumbuhan penduduk Bali data terakhir BPS tercatat 4,32 juta (di atas ambang batas 4 juta jiwa) yang telah pula ditandai kemacetan lalu lintas Bali termasuk nomor dua terpadat setelah Kota Jakarta.
Tantangan terberat lainnya yang sangat vital saat ini yang dihadapi Bali adalah di sektor dunia usaha dan lembaga keuangannya terutama LKM (Lembaga Keuangan Mikro) dan perbankan sebagai motor penggerak utama perekonomian Bali. Belum lagi masih maraknya terjadi perilaku penyimpangan produk-produk dunia usaha seperti investasi bodong, penghimpunan dana ilegal, pecucian uang/penipuan dan money changer bermasalah yang marak belakangan ini telah memicu/memperburuk kepercayaan (trust) masyarakat dalam bertransaksi di dunia usaha di Bali.
Potensi kredit bermasalah/macet pelaku usaha atau dunia usaha Bali yang bertumpu pada sektor pariwisata yang mayoritas dibiayai oleh industri LKM dan perbankan telah mengalami pukulan terberat hingga saat ini sebagai penunjang utama perekonomian Bali. Masih beruntung pelaku usaha /debitur LKM dan perbankan masih diberikan kelonggaran/keringanan berupa relaksasi/penangguhan pembayaran utang (rescheduling) oleh otoritas terkait (OJK) dengan dikeluarkannya peraturan tentang relaksasi dan restrukturisasi kredit nasabah periode 2021-2022 dan terkini periode yang akan diperpanjang 2023-2024 terutama karena terdampak langsung oleh pandemi Covid- 19.
Di lain pihak, sangat disayangkan di industri LKM dan perbankannya sama sekali tidak diberikan fasilitas penunjang yang memadai (untuk meng-offset) atas pembiayaan yang disalurkan industri LKM dan lembaga perbankannya baik berupa dukungan likuiditas bahkan relaksasi aturan penunjang untuk mengakomodir nasabah kredit LKM dan perbankan yang memperoleh fasilitas restruturisasi dan atau relaksasi kredit bermasalah/ macet akibat pandemi dan dampak krisis global tersebut.
Apabila tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh dunia usaha/pelaku usaha dan LKM /perbankanya tak diberikan solusi konkrit dan nyata melalui pemberian likuiditas atau relaksasi aturan terkait, maka dapat dipastikan industri LKM dan perbankan Bali akan menghadapi potensi besar dapat terpuruk atau collaps di tahun era penuh tantangan pada tahun 2023 sesuai himbauan Presiden dalam berbagai kesempatan agar kita hati hati.
Sangat diharapkan kepemimpinan Bali bekerja sama dengan otoritas Pemerintah Pusat yang seyogyanya peduli dan segera mau mengambil langkah langkah strategis yang konkrit dan nyata untuk bisa menyelamatkan perekonomian Bali pada tahun gelap 2023.
Penulis, Pemerhati dan praktisi keuangan dan perbankan