Oleh Dewa Gde Satrya
Memasuki masa libur Natal 2022 dan Tahun Baru 2023 (Nataru), pergerakan jutaan manusia Indonesia di jalan raya, terbukti semakin meningkatkan ketidaknyamanan selama di perjalanan. Jalur darat semakin banyak ditempuh traveler, sebagai alternatif jalur udara. Jalan antar kota atau antar propinsi, maupun jalan dalam kota dan di destinasi wisata, semakin padat.
Keselamatan dan kenyamanan berkendara selama di perjalanan menjadi bagian penting yang semakin penting untuk diprioritaskan semua pihak. Keganasan hidup di jalanan juga tergambar dalam data yang pernah dikeluarkan Depkes yang menyebutkan, kecelakaan di jalan merupakan masalah kesehatan yang sangat serius di seluruh dunia, termasuk Indonesia (Firman, 2008).
Mengingat rawannya kecelakaan lalu lintas di satu sisi dan potensi ketidaknyamanan di jalan di sisi lain, perlu adanya pemahaman publik akan nilai-nilai hospitality yang dapat diterapkan sesuai kapasitas dan tanggung jawab masing-masing. Menurut Oxford Advance Learner’s Dictionary (2000), hospitality didefinisikan sebagai friendly and generous behavior towards guests: food, drink, or services that are provided by an organization for guests, customer, etc. Dan sebenarnya, definisi hospitality yang awalnya diperuntukkan bagi dunia perhotelan, kini disadari telah menjadi kebutuhan setiap sektor yang bersifat memberikan layanan. Karena itu, jalan raya sebagai fasilitas publik yang menjadi salah satu matarantai penting dalam layanan publik perlu mendapatkan sentuhan khas dalam ranah hospitality ini. Banyak aspek penting terkait di dalamnya, yang menyangkut peran dan kontribusi setiap pihak (stakeholder) yang berkepentingan dengan keselamatan dan kenyamanan di jalan.
Dalam arti yang paling mendasar, hospitality di jalan raya menyangkut sejauh mana rasa aman, nyaman dan menyenangkan benar-benar dapat dirasakan oleh setiap pengguna jalan. Terkait dengan itu, falsafah nilai-nilai kepariwisataan yang terangkum dalam Sapta Pesona Wisata tetap relevan dalam konteks peradaban di jalan raya.
Sapta Pesona Wisata, sebuah konsep tata nilai yang dilahirkan dan dipopulerkan Mantan Menparpostel era orde baru Soesilo Soedarman (1988-1993) menjadi inti pembangunan kepariwisataan di ranah faktor manusia. Kini, implementasinya dapat diterapkan bagi setiap penyedia layanan dan pengguna jalan raya.
Sapta pesona wisata yang terdiri dari keamanan, kebersihan, ketertiban, kesejukan, keindahan, keramahtamahan, serta memberikan kenangan yang mengesankan pada wisatawan merupakan elemen dasar pariwisata yang menempatkan masyarakat sebagai faktor penting dalam implementasinya (Spillane, 1987).
Sebagaimana kepariwisataan menyangkut peran aktif dan kontribusi positif dari masyarakat terhadap lingkungan sekitar, demikian pula penerapan Sapta Pesona Wisata sebagai pilar hospitality di jalan raya terkait dengan kesadaran dan praktek masyarakat untuk saling menjaga keselamatan dan kenyamanan di perjalanan.
Suwantoro (1997) menyatakan, masyarakat bisa berperan aktif jika memiliki motivasi kuat, kemauan dan kemampuan untuk berperan dan diberi kesempatan untuk berperan. Kesediaan dan kewajiban masyarakat untuk menjaga ketertiban di jalan raya juga diatur dalam UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Menyimak konten UU tersebut tampak ada semangat dan komitmen untuk meningkatkan kualitas peradaban di jalanan. Lebih-lebih, dengan menyesuaikan tantangan dan kebutuhan zaman, niscaya UU LLAJ ini mampu mendorong pemerintah pusat dan berbagai daerah, serta masyarakat, untuk makin menganggap penting esensi pemanfaatan jalan yang sama pentingnya dengan keberadaan infrastruktur.
Dalam World Economic Forum Report Travel and Tourism Competitiveness Index 2008, Indonesia menduduki peringkat 80 dibanding Singapura (peringkat 16), Malaysia (peringkat 32), dan Thailand (peringkat 47). Perolehan peringkat yang rendah itu salah satunya disebabkan kelemahan Indonesia dalam hal infrastruktur. Untuk sarana transportasi darat, Indonesia menduduki peringkat 98.
Sedangkan transportasi udara berada pada peringkat 61. Sebagai pembanding, Malaysia menduduki peringkat 28 untuk sarana transportasi darat. Kini, infrastruktur (hard side) telah dan terus diupayakan pemerintah. Faktor manusia (soft side) berperan penting untuk pemanfaatan infrastruktur tersebut agar mencapai tujuan yang paling mendasar, memberikan kemudahan dan keselamatan dalam perjalanan.
Di jalanan, kita dapat melatih diri menjadi insan-insan humanis. Di sana pula kita dapat melihat potret peradaban masyarakat dan bangsa kita. Yang perlu dikembangkan saat ini adalah sosok the liberal ironist menurut gagasan filsuf Richard Rorty. The liberal ironist atau manusia ironis liberal digambarkan sebagai manusia liberal yang hanya mengakui satu tuntutan dasar etika: jangan menyakiti makhluk lain, jangan melukai atau membuat orang lain terhina. Dan, sebagai manusia ironis, ia sadar bahwa keyakinan-keyakinannya yang paling dalam barangkali tidak dapat dipertahankan lagi. Artinya, fleksibilitas terhadap keselamatan dan independensi orang lain patut dikembangkan dan menjadi kepemilikan bersama. Kombinasi antara sikap ironis terhadap diri sendiri dengan sikap yang menolak untuk – atas dasar prinsip apa pun – melukai orang lain, adalah inti segenap moralitas yang humanis (Franz Magnis-Suseno, Pijar-pijar Filsafat, 2005: 39).
Jika diterapkan dalam peradaban kita di jalanan, maka dibutuhkan semakin banyak pengguna jalan yang bersosok the liberal ironist. Di satu sisi, menghargai keselamatan fisik sesama pengguna jalan, di sisi lain menghargai keilahian yang ada dalam setiap diri manusia. Inilah dasar hospitality di jalan raya. Selamat berlibur, kiranya tiada kecelakaan di jalur darat kita karena tumbuhnya hospitality pengendara. Dengan demikian, tujuan perjalanan wisata adalah pulang dengan selamat dan bergembira.
Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya